Thursday, September 12, 2013

MASALAH PENDIDIKAN JASMANI SAAT INI


Di sajikan buat Mahasiswa JPOK FKIP Unlam Banjarbaru

Persoalan yang sangat mendasar dalam  pendidikan jasmani bukanlah semata-mata bagaimana proses meningkatkan efektivitas belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.  Di dalamnya juga terkandung  beberapa tuntutan perubahan pada domain kognitif, afektif dan psikomotor di tingkat mikro individual.  Efektivitas proses pendidikan dimaksud tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fisik, biologis dan psikologisnya saja, tetapi juga dari aspek konteks lingkungan geografis. Itulah sebabnya  penyediaan pengalaman belajar yang mengandung nilai-nilai kependidikan, implimentasi pendekatan dan model pembelajaran yang serasi dengan substansi tugas ajar dan beberapa sumber belajar lainnya.  Konteks lingkungan dimaksud merupakan tata latar yang dapat dibatasi dalam pengertian lingkungan, seperti lingkungan sosial,  budaya dan geografis. Karena itu penyelenggaraan pendidikan jasmani tidak saja dipengaruhi oleh metode, model, strategi, dan pendekatan saja, tetapi dapat diamati dari sisi kebijakan, perencanaan yang dikaitkan dengan konteks lingkungan pendidikan itu sendiri.    
Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan jasmani dewasa ini adalah terjadinya perubahan nilai-nilai budaya.  Perubahan dimaksud berupa kultur gerak.  Menurut Bart Crum (1994) dalam Rusli Lutan (2003:101) ‘movement culture’,  yakni terjadi perubahan kebiasaan aktif bergerak menjadi kebiasaan kurang gerak atau bahkan fenomena gaya hidup diam.  Pergeseran gaya hidup itu,  dipicu oleh aneka kemudahan dalam kehidupan sehari-hari yang di dukung oleh perubahan taraf hidup, penggunaan teknologi komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga di kalangan anak-anak yang fitrahnya sebagai mahluk bermain (homo luden) sangat berkurang dan cenderung menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya.  Dalam kehidupan sehari-hari banyak anak-anak menghabiskan waktu menyaksikan program televisi, video, menggunakan internet seperti facebook dan lain sebagainya. Pergi ke sekolah atau ke kampus menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi. Para pengunjung toko swalayan lebih banyak menggunakan lift dan tangga berjalan (escalator) ketimbang naik menggunakan tangga dengan pertimbangan mereka lebih cepat, nyaman dan menghemat tenaga.  Kecenderungan gaya hidup kurang gerak, menurut George Peterson (2004:2) selaku perwakilan WHO Indonesia menyatakan  ‘sekarang ini banyak masyarakat yang tidak aktif bergerak (sedentary life-style) akibatnya kebugaran jasmani sangat rendah’.   Ini merupakan penyebab  satu dari sepuluh kematian di dunia.  Oleh karenanya WHO memprediksi pada tahun 2020 sebanyak 73% kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular, atau sebanyak 60%  disebabkan rendahnya kebugaran jasmani. /www.kompas.com.health.news.2004).
Dalam ungkapan yang relatif  sama, berdasarkan hasil penelitian, Fu & Fung (2004); dalam  Chin Ming-Kai (2008:8) mengungkapkan  ‘80 % orang Cina yang tinggal di Beijing,  Shanghai, dan Hongkong berperilaku kurang gerak’.  Perilaku semacam ini juga terjadi di Eropa.  Menurut  Janz, (2001), Tybor, (2005); Janssen,  (2005)  dalam Chin Ming-Kai (2008:9) menyatakan sebanyak 130.000 orang anak usia sekolah dari 34 Negara Eropa aktivitas fisiknya menurun karena waktu yang digunakan lebih banyak diluangkan untuk menonton televisi.   Jadi tidaklah berlebihan Jordan, (2006); dalam Chin Ming-Kai (2008:8) menjelaskan hasil survey akhir-akhir ini menunjukkan “…time children spent on television, videos, video games and computer five hours per day”.   Masalah ini perlu ditanggapi sebagai ancaman bagi peningkatan kualitas hidup. Inti permasalahannya dapat dikatakan terjadinya krisis lembaga pendidikan formal, khususnya di lembaga pendidikan jasmani yang sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan.  Kresis tersebut menurut Foldesi, (1993), Naul,.(1994); dalam Rusli Lutan (2003:96)  ‘menjadi isu sentral, tidak saja melanda Negara berkembang seperti bangsa Indonesia, tetapi juga Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggeris dan Jerman’.  Isu dimaksud pernah  diungkapkan Rusli Lutan pada Konvensi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga 24-25 November 2008 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan tema “Paradigma baru dalam pembangunan keolahragaan nasional berbasis ilmu terpadu.   Beberapa isu tersebut diantaranya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
Isu Program Kurikulum Pendidikan Jasmani di SD
 Isu ini dapat ditinjau dari materi pembelajaran pendidikan jasmani yang dilakukan oleh guru. Guru sering memaksakan anak untuk melakukan aktivitas fisik, yang tugas geraknya terlalu berat tidak sesuai dengan kemampuan fisiknya. Perilaku guru semacam ini, melanggar prinsip developmentally appropriate practice (DAP).   Keadaan ini diperparah lagi oleh paham dan keyakinan guru yang berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari pendidikan jasmani.
Isu Proses Pembelajaran Terpusat Pada Guru
Perihal ini memiliki beberapa kelemahan, yakni (a) kurangnya pengembangan dan variasi aktivitas belajar secara holistik, (b) kurangnya pemahaman dampak kebugaran jasmani dan gaya hidup sehat, (c) kurangnya pengalaman guru mengintegrasikan aktivitas pendidikan jasmani dengan bidang lainnya, (d) kurangnya pengembangan aspek afektif sehingga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan anak terhadap pendidikan jasmani. (e) kurangnya pemberian bantuan kepada anak agar mengerti emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas pendidikan jasmani, (f) kurangnya kemampuan guru dalam melaksanakan tugas ajar terlalu sukar yang menyebabkan mereka bosan, atau frustrasi, (g) kurangnya jumlah waktu aktif belajar. 
Isu Ketidak Berhasilan Kurikulum Pendidikan Jasmani 
Idealnya keberhasilan kurikulum pendidikan jasmani dapat ditinjau dari terdidiknya seseorang melalui aktivitas jasmani yang disebut dengan istilah physically educated person (PEP). Istilah ini  merujuk kepada standar National Association for Sport and Physical Education (NASPE).    Menurut NASPE (1992); dalam Adang Suherman (2008:11) di Amerika Serikat karakteristik PEP dimaksud adalah : (a) memiliki beberapa keterampilan melakukan aktivitas fisik. (b) memiliki kebugaran jasmani yang baik, (c) dapat berpartisipasi secara teratur melakukan aktivitas jasmani, (d) mengetahui akibat dan manfaat dari aktivitas jasmani, dan (e) dapat memahami melakukan aktivitas jasmani menjadi hidup sehat. 
Isu Kondisi Pendidikan Jasmani Saat Ini
Pendidikan jasmani saat ini terbilang menyedihkan dan bahkan sering dilecehkan. Hal ini diungkapkan Balitbang Diknas (2008:10) yang menyatakan  menjelang ujian akhir di beberapa sekolah, pendidikan jasmani sering tidak dilaksanakan dengan alasan agar para anak tidak terganggu’.  Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Aip Syarifuddin (2002) dalam Balitbang Diknas, (2008:9) yaitu ‘kualitas guru pendidikan jasmani di beberapa sekolah pada umumnya kurang memadai, mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara professional’.  Kondisi saat ini menunjukkan banyak guru,  ketika membuka pelajaran, menyuruh anak hanya senam dan lari sebagai bentuk pemanasan.  Kemudian teknik dasar yang diberikan dalam suasana tegang, karena guru pendidikan jasmani dianalogikan sebagai penegak kedisiplinan dan kekerasan di sekolah.  Terkadang anak disuruh melakukan bermain, sementara dia duduk di bawah pohon sambil memegang peluit.  Peristiwa ini telah berlangsung dari waktu ke waktu sehingga tidak terpikir olehnya untuk menciptakan strategi pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan.
Isu Ditinjau Dari Olahraga Prestasi
Performan atlet Indonesia dalam event olahraga internasional seperti ASIAN Games, SEA Games, atau dalam PON dan PORDA akhir-akhir ini sangat mengecewakan.  Rendahnya prestasi olahraga seperti ini, merupakan cerminan ketidakberhasilan pembibitan melalui pendidikan jasmani sejak usia SD. Walaupun disadari pendidikan jasmani tidak bertujuan menciptakan prestasi, tetapi misi utamanya berkontribusi terhadap pembentukan keterampilan dasar berolahraga.  Keadaan ini diperparah lagi oleh sikap stakeholder mengabaikan arti pentingnya pendidikan jasmani di sekolah-sekolah.  Seperti pemberian tugas guru yang tidak berlatar belakang pendidikan jasmani  untuk mengajar.  Kejadian ini apabila dibiarkan terus menerus, maka tidak akan berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi olahraga prestasi di tingkat  Nasional.
Isu Ketidak Cukupan Belajar Gerak
Isu ini berkenaan dengan waktu pelaksanaan pendidikan jasmani tidak efektif.  Siedentop, (1980:25) pernah meneliti ‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) hasilnya sebagai berikut:
 ‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) is a unit of time in which a student is engaged in relevan physical education content in such a way that he or she has an appropriate change to be successful. Appropriate success rate is usually about 80 percent probability of doing the task correctly as it is defined in the lesson. ALT-PE is thought to be a powerfull way of evaluating the degree to wich teacher perform effectively’.


Temuan penelitian Siedentop menegaskan bahwa ALT-PE merupakan acuan waktu keberhasilan anak dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani hanya berkisar 80 % waktu yang efektif. Sisanya terbuang karena terjadi pergantian dalam melakukan tugas gerak.  Lebih tegas lagi diungkapkan Tousignant, Parker (1982) dalam Tinning (1987:55) yang menyatakan bahwa  dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak waktu terbuang (28 %) dipergunakan menunggu giliran (pergantian) peralatan. Selanjutnya 20 % lagi waktu habis digunakan tugas managerial, seperti memilih tim, menggerakan dan mengorganiser praktek dari satu tempat ke tempat lain.  20 % lagi waktu digunakan menerima informasi pelajaran dari guru, dan sisanya hanya 32 % waktu yang tersedia untuk melakukan keterampilan.
Penelitian serupa pernah dilakukan Rusli Lutan (1993:37) dengan fukos jumlah waktu aktif belajar (JWAB) kalangan guru-guru pendidikan jasmani di Jawa Barat. Kesimpulan yang diperoleh yaitu  ‘penggunaan waktu pembelajaran pendidikan jasmani tidak mencukupi,  banyak waktu habis terbuang digunakan berjalan ke tempat lapangan olahraga, banyak waktu terbuang karena menunggu giliran menggunakan fasilitas dan alat olahraga. Hanya sepertiga  sisa waktu yang dapat digunakan melaksanakan inti pelajaran’.   Berdasarkan hasil penelitian tersebut menyarankan bahwa indikator keberhasilan waktu pendidikan jasmani yang efektif adalah “jumlah waktu aktif berlatih (JWAB) banyak, waktu menunggu giliran sedikit, dan proses pembelajaran melibatkan partisipasi anak dan guru secara aktif”. 
Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai media pembelajaran.  Dalam kaitan ini, Wuest dan Bucher (1995:97) menyebutkan,  movement is the keystone of physical education and sport”.   Oleh karenanya Anderson , (2006); dalam Chin Ming-Kai (2008;12) mengungkapkan,  bahwa “di  Eropa-saat ini menerapkan aktif bergerak minimal 90 menit setiap harinya untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya”.   Seiring dengan itu pula, Kaplan, Liverman dan Kraak, (2005); McKenzie et al.,(2003) dalam Chin Ming-Kai (2008:8) menegaskan bahwa proses pendidikan jasmani merupakan ‘increasing physical activity through physical education is also a proposed public health strategy to reduce obesity in childhood and adolescence’. 
Beberapa isu di atas, sudah diseminarkan dalam kongres International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) di Berlin tahun 1999.  Dalam kongres tersebut, Ken Hardman (1999); dalam Rusli Lutan (2003:115) menyatakan ‘adanya kelemahan di dalam relevansi budaya terhadap nilai-nilai akademik pendidikan jasmani sebagai akibat tidak terlaksananya kurikulum pendidikan jasmani secara tuntas’.   Hal ini terbukti implementasi pendidikan jasmani di masing-masing negara tidak ada yang mencapai 100 %.  Contohnya, di Afrika hanya 25 %,  Asia,  33 %,  Kanada, 57 %, Ocenia, 70 %,  Amerika Utara, 72 %,  Amerika Serikat, 74 %,  Timur Tengah, 82 %, dan Eropa, 87 %. 
Berdasarkan data tersebut, pendidikan jasmani sedikit sekali mengalami kemajuan yang dicapai dari sisi pengembangan kurikulum. Sebabnya karena sedikit orang yang mau menekuni berbagai disiplin ilmu sebagai landasan pemahaman pendidikan jasmani dan olahraga.  Di sisi lain, kurangnya publikasi hasil penelitian pendidikan jasmani Indonesia ke dalam jurnal nasional maupun internasional.  Kekurangan publikasi seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Diperparah lagi oleh ketiadaan buku‑buku pendidikan jasmani dan olahraga dengan disiplin ilmu yang mumpuni.  Manakala masalah ini dibiarkan terus menerus, dampak penggiring lainnya munculah masalah rendahnya kebugaran jasmani yang pada akhirnya menimbulkan penyakit hipokinetik, dan berdampak pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik anak.  
Isu Pendidikan Jasmani Mempromosikan Kebugaran Jasmani Anak 
Konsep pendidikan jasmani dalam upaya mempromosikan kesehatan dan kebugaran jasmani anak di sekolah.  Hal ini terungkap pada saat konferensi PBB bulan Pebruari 2003 di Switzerland dengan tema ‘Sport as a means to promote education, health development and peace’.   Menyimak hasil konferensi tersebut, PBB menegaskan bahwa “pendidikan jasmani dan olahraga dapat mempromosikan kesehatan,  dan kebugaran jasmani untuk semua orang, segala usia, tidak memandang perbedaan ekonomi, sosial dan budaya”.  Pernyataan ini, disambut baik oleh pemerintah Hongkong dan Cina.  Baru-baru ini di Hongkong, dan Cina menerapkan  pendidikan jasmani dengan paradigma baru, yakni kurikulum berbasis perkembangan masa hidup untuk lebih lama (areas curriculum development council).  Perihal ini disampaikan Chin Ming-Kai (2008:9) pada kongres Sport for All 2008 di Kuala Lumpur sebagai berikut “In Hongkong-China, in order to formulate a curriculum paradigm that fosters life-long learning and focuses on whole-person development physical education is included as one of the key learning areas”.  Mencermati pernyataan Chin Ming-Kai ini, ditegaskan bahwa tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk membantu anak mengembangkan gaya hidup aktif, hidup sehat dan memiliki kebugaran fisik, melalui berbagai aktivitas fisik serta belajar keterampilan berolahraga.   Jadi pemikiran di atas, menempatkan pendidikan jasmani sebagai satu sumber untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak-anak di sekolah.  Selayaknya anak yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran jasmani yang baik.  Namun kenyataannya saat ini, masih banyak anak-anak memiliki kebugaran jasmani yang rendah karena mengalami beberapa persoalan, diantaranya adalah obesitas.
Isu Obesitas Menyebabkan Rendahnya Kebugaran Jasmani
Hasil survei sosial ekonomi nasional, (Susenas 2004)  dalam Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga masalah kegemukan (obesitas)’.  Menelaah penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami obesitas,  porsi makannya lebih banyak karena tidak aktifnya hipotalamus.  Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh menit sesudahnya. Di pusat hipothalamus terdapat dua sinaps yang memberitahukan rasa lapar dan rasa kenyang. Untuk sinaps rasa lapar, terletak pada ventrolateral hypothalamus sedangkan pusat kenyang terletak pada ventromedial hipothalamus.  Dalam keadaan normal isyarat rasa lapar dikirim ke korteks serebri yang berasal dari pusat kenyang karena dipengaruhi oleh distensi lambung, plasma glucose, dan insulin serta pengaruh substansi katekolamin sehingga orang tersebut merasa kenyang. Tetapi apabila terjadi gangguan pada regulasi perambatan ini, maka orang tersebut tidak merasa kenyang dan terjadi makan yang berlebihan pada akhirnya menyebabkan obesitas.
Obesitas dari perspektif metabolisme merupakan indikator dari berfungsinya kerja metabolisme secara baik. Semakin cepat metabolisme bekerja, maka semakin baik  tubuh anda. Sebaliknya semakin lambat metabolisme bekerja, maka tubuh anda mengalami obesitas.  Metabolisme wanita lebih lambat dari pria, oleh karena itu sebanyak 30 % wanita lebih cepat gemuk dibandingkan pria.  Pada pria muda kandungan lemak tubuh rata-ratanya 12 % sedangkan wanita 2 %.  Karena itu, apabila pria kandungan lemak tubuhnya melebihi dari 20 % dinyatakan obesitas, demikian pula wanita  apabila melebihi dari 30 % dinyatakan obesitas.  Pada wanita lemak di simpan di bagian pinggul, sedangkan pada pria lemak di simpan di perut. 
Menurut Rusli Syarif dokter ahli nutrisi dan metabolik anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dalam Misnadiarli, (2007;144) ‘Obesitas adalah penyakit yang ditandai penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan’.   Sekarang ini obesitas tidak saja di alami orang dewasa, tetapi juga anak-anak.  Perihal ini diperkuat oleh Ebbeling PawLak dan Ludwing,(2002); Finer, (2003),Wang, Monteiro, & Popkin, (2002) dalam Chin Ming-Kai (2008:1) mengatakan ‘…the world-wide prevalence of obesity in childhood is also increasing’. (Journal 12th World Sport for All Congress Malaysia 2008). 
Dalam kaitan yang sama, disampaikan Florentino (2002);  dalam Chin Ming Kai (2008:3) “Increasing prevalence of obesity has been shown not only in the industryiall developed countries, but also in the developing countries.    Oleh karena itu WHO (2002) menyatakan bahwa kelebihan berat merupakan faktor resiko kelima dari 39% total obesitas.  Sekarang ini ada enam negara dari sepuluh negara di Asia mengalami penyakit obesitas tertinggi, yakni; (1) Cina, (2) India, (3) Indonesia, (4) Jepang, (5) Pakistan dan (6) Banglades.   Kemudian berdasarkan hasil survey himpunan obesitas Indonesia Askandar Tjokroprawiro, (2006); dalam Misnadiarli (2007;144) menyatakan bahwa ‘anak-anak SD favorit di Jakarta Selatan, saat ini mengalami obesitas sebanyak 20 %, di Semarang 12 %.  Perihal yang sama dikemukakan Djer (1998) dalam Misnadiarly (2007:145)  yang melaporkan bahwa  anak lelaki perkotaan mengalami kenaikan obesitas dari 4,6 % menjadi 6,3 %,  sedangkan anak perempuan dari 5,9 % naik menjadi 8 %.   
Dalam pandangan yang lebih luas, saat ini diperkirakan sekitar 155 juta anak-anak dan anak remaja usia sekolah mengalami gejala obesitas dan kelebihan berat.  Perihal ini dinyatakan oleh Kosti & Panagiotakios, (2006); Ebbeling,  Pawlak & Ludwig (2002) dalam Chin Ming-Kai (2008:4) menyebutkan :  “…..It is estimated 155 million school-age children and  adolescent  experience of obesity and being overweight”.  Selanjutnya Ogden., (2006) dalam Chin Ming-Kai (2008:4) memprediksi bahwa anak-anak usia 6 - 11 tahun mengalami obesitas di perkirakan meningkatkan dari 15,1 % menjadi 18,8 %  antara tahun 1999 dan 2004.  Demikan pula prediksi General Accounting Office, (2006) dalam Chin Ming-Kai (2008:4) yang menyatakan ‘bahwa anak-anak Amerika Serikat mengalami  peningkatan obesitas  sebanyak 20 % pada tahun 2010.   Nah bagaimana di Indonesia,  dikatakan  bahwa rendahnya kebugaran jasmani anak-anak, sebagai dampak dari rendahnya kualitas pengajaran pendidikan jasmani. 

Isu Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak
Sekarang ini penyakit jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan remaja sebagai dampak rendahnya kebugaran jasmani di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.  Rendahnya kebugaran jasmani tersebut, terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh tim pengembang Sport Development Index (Mutohir, dan Ali Maksum, 2007: 52) meneliti kebugaran jasmani pelajar di seluruh Indonesia.  Hasilnya tidak ada yang baik sekali atau 0 %, katagori baik hanya 5,66 %, sedang 37,66 %, kurang 45,97 %, dan kurang sekali 10,71 %.   Perihal ini menurut  (WHO 2004)  apabila dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit hypokinetik setiap tahunnya. (G. Petersen 2004;2).
 Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama ini.  Karena itu, masyarakat perlu didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan berkelanjutan. Dampak lain, akibat rendahnya kebugaran jasmani masyarakat, di tinjau dari dua sisi ekonomis yang terjadi, yakni : (1) peningkatan biaya pengobatan, (2) penghematan biaya pengobatan.   Dari sisi peningkatan biaya,  perihal ini terbukti dari hasil survey American Alliance for Health, Physical Education, Recreation and Dance (AAHPERD:1999) dalam Mutohir, dan Ali Maksum, (2007:47), menyatakan ‘beberapa negara terjadi peningkatan biaya pengobatan, seperti di Belanda 2.4 %, Kanada 6 %, dan Amerika Serikat 9 % termasuk biaya untuk mengatasi obesitas’.  Pernyataan serupa juga disampaikan oleh  Dave Jackson, Houlihan (1997)  dalam Rusli Lutan dan Hallam Pereira (2003:2a) menyatakan ‘apabila olahraga dapat dikemas dengan baik, maka dapat mempunyai peluang ekonomi yang besar bagi sebuah industri olahraga dengan memanfaatkan sumber paralatan dan infastruktur yang representatif.  Kemudian dari sisi penghematan biaya, sebagaimana yang dikatakan Bruce Kidd (1997) dalam Mutohir, dan Ali Maksum, (2007:47) makalahnya berjudul the economic case for physical education menjelaskan, bahwa ‘Amerika Serikat dapat menghemat biaya pengobatan sebesar $ 330/orang, atau sebesar $ 580 juta/orang dalam setahun.  Kanada sebesar $ 364/orang, atau sebesar $ 200 juta/orang dalam setahun’.  Dengan demikian, apabila setiap 1 dollar diinvestasikan pada aktivitas jasmani, maka akan menghasilkan penghematan biaya pengobatan sebesar $ 320/orang dan menghasilkan keuntungan sebesar $ 29 juta dalam setahun.  Lebih lanjut Hallam Pereira dan Rusli Lutan, (2003:2b) menyatakan bahwa melakukan ‘Olahraga dapat menurunkan nilai keuangan pemerintah dalam mengeluarkan biaya pengobatan kepada masyarakat’.   
Isu Pentingnya Kebugaran Jasmani Meningkatkan Kualitas Hidup
Pentingnya kebugaran jasmani, mengacu deklarasi the Magglingen sebagaimana dikutip Mutohir,  dan Ali Maksum, (2007:17) sebagai berikut : “sport is a part of the schooling system helps young people perform better, and improves their quality. Making physical education of the system helps young people perform better, and improves their quality of life”.   Menyimak pernyataan tersebut, olahraga merupakan bagian dari sistem pendidikan dan dapat membantu anak-anak melakukan aktivitas gerak yang lebih baik guna meningkatkan kualitas hidup mereka.   Pendidikan jasmani dapat membantu anak-anak melakukan aktivitas gerak guna meningkatkan kualitas hidup (quality of life) lebih baik lagi”.  Orang yang memiliki kualitas hidup baik, adalah orang yang sehat jasmani,  rohani  dan sosial serta spritualnya (weellbeing).  Upaya yang ditawarkan dengan cara melakukan aktivitas fisik setiap hari agar harapan hidup menjadi lebih lama (longevity).  Perihal ini sebagaimana yang sudah diterapkan di Hongkong dan Cina.   Kedua negara ini sejak tahun 2003 berhasil sukses menerapkan program aktivitas fisik setiap harinya sehingga masyarakatnya memiliki tingkat kualitas hidup yang baik. (Chin Ming-Kai (2008:8).  Selanjutnya Chin Ming-Kai (2008:9) menjelaskan  untuk melakukan program aktif bergerak anak-anak sekolah, diterapkan pada setiap jam istirahat selama lima menit.  Program ini dilakukan oleh semua anak dan guru dengan berbagai aktivitas gerak menari, seperti tarian Chu Shang de Taiyang, tarian Qingchun de Huoli, serta diselingi dengan musik jazz modern.   Dengan demikian mereka akan memiliki quality of life yang lebih baik lagi.  Keuntungan lain orang yang memiliki kualitas hidup yang baik adalah “Can also help people sleep better”.  Nah bagaimana dengan bangsa Indonesia?.
Pemerintah Republik Indonesia melalui kerjasama Departemen Kesehatan (Depkes) dengan instansi yang terkait, berupaya menyusun strategi kebijakan pembangunan baru didasarkan pada “Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan dan Kebugaran Jasmani”.   Gerakan ini dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada pembukaan rapat kerja kesehatan nasional Depkes pada tanggal 1 Maret 1999 sebagai sebuah strategi.  Strategi ini merupakan strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010 dikenal sebagai paradigma sehat,  yaitu fit for health atau move for health.  Artinya bergerak agar sehat dan bugar. 
(Pribakti, 2009:10b).   Program Indonesia sehat 2010 tersebut, menghendaki agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat berperilaku hidup sehat dengan mengoptimalkan lingkungannya untuk mewujudkan masyarakat madani (Civil Society), yaitu masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan.  Jika pembinaan tersebut dibarengi dengan pembinaan bakat olahraga, maka di kemudian hari akan menghasilkan prestasi olahraga.
Isu Kemampuan Mempelajari Gerakan Yang Baru (Motor Educability)
Isu ini berpangkal akibat ketidakpahaman guru tentang hakikat tubuh anak yang sesungguhnya berbeda dengan fisik orang dewasa.  Keadaan ini diperparah lagi adanya perilaku guru cenderung malas dan kurang mencintai tugas itu dengan sepenuh hati,  sehingga dalam memberikan tugas geraknya melanggar prinsip developmentally appropriate practice (DAP), yakni tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak.  Kepada anak diberikan tugas gerak melebihi dari kemampuan fungsional tubuhnya, sehingga untuk mempelajari gerakan yang baru (new motor skill) anak-anak mengalami hambatan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani. 
Motor educability menurut Rusli Lutan (1988:115) adalah kemampuan umum untuk mempelajari tugas gerak secara cermat dan cepat. Motor educability juga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi tingkat penguasaan suatu keterampilan gerak. Jika seseorang memperlihatkan penampilan (performa) dalam menguasai gerakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik, maka orang itu dikatakan memiliki tingkat motor educability yang baik pula. Selanjutnya Rusli Lutan (1988:116) menegaskan bahwa motor educability erat hubungannya dengan koordinasi gerak. Semakin tinggi tingkat motor educabilitynya, maka semakin tinggi pula koordinasi geraknya. Menurut Harsono (1988:220) yang dikatakan koordinasi gerak yang baik, bukan saja mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah dan cepat dalam mempelajari gerakan yang baru (new motor skill). Faktor semacam inilah yang menjadi fukos dalam penelitian ini, karena selain bisa dijadikan pertimbangan untuk menetapkan suatu keterampilan, juga untuk membedakan dan untuk mengelompokkan anak ke dalam  kelompok individu lainnya, baik dalam berolahraga maupun sosial berbudaya serta perilaku berkarakter dalam kehidupan masyarakatnya.

5 comments:

  1. asslamualaikum... mohon maaf saya kusumawardani mahasiswa SPS UPI program S3. saya tertarik untuk melnjutkan penelitian yang ada, saya minta izin dan apa bila di bolehkan saya minta artikel lengkap dari penelitian bapak.. terimakasih banyak. dan maaf menggu

    ReplyDelete
  2. AGENS128 Adalah Situs Judi Online Taruhan Sepak Bola, Casino, Sabung Ayam, Tangkas, Togel & Poker Terpopuler di Indonesia
    Pasang Taruhan Online Melalui Agen Judi Terpercaya Indonesia Agens128, Proses Cepat, Banyak Bonus, Online 24 Jam dan Pasti Bayar!
    Sabung ayam
    sbobet online
    casino online
    tembak ikan
    daftar bisa langsung ke:
    LINE : agens1288
    WhatsApp : 085222555128

    ReplyDelete