Wednesday, September 11, 2013

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA (Pengantar Teori dan Konsep Dasar)



BAB. I.
PENDAHULUAN
Persoalan belajar dan pembelajaran berbasis pendidikan jasmani bukanlah semata-mata proses transformasi gerak  pada domain psikomotor ditingkat mikro individual. Di dalamnya juga menyusup beberapa problem seperti masalah pedagogi, masalah guru, rendahnya kebugaran jasmani anak, infrastruktur, dan faktor lingkungan sosial serta geografis.  Itulah sebabnya, pendekatan yang digunakan dalam membahas belajar dan pembelajaran pendidikan jasmani cukup luas, yakni bukan saja dari aspek fisik-biologis dan psikologis, tapi juga dari aspek lingkungan sosial budaya (socio-cultural).  Beberapa persoalan seperti ini tak kunjung habis, bahkan memunculkan masalah baru yang menyebabkan kualitas belajar dan pembelajaran pendidikan jasmani semakin menurun. 
Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan jasmani saat ini,  adalah terjadinya perubahan nilai-nilai budaya.  Bart Crum (1994) Rusli lutan (2003:101) menyatakan ‘a change in movement culture.  Artinya terjadi perubahan (pergeseran) budaya,  dari budaya gerak menjadi budaya diam.  Pergeseran budaya tersebut dipicu oleh dampak globalisasi ekonomi, teknologi komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga anak-anak cenderung menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya.  Contoh dalam kehidupan sehari-hari banyak waktu dihabiskan duduk di depan televisi, video, play-station, internet, facebook dan lain sebagainya.  Pergi kesekolah/kampus menggunakan kendaraan sebagai transportasi, pergi ke mall banyak menggunakan lift dan eskalator ketimbang naik dengan menggunakan tangga.
Dalam ungkapan yang relatif sama disampaikan G., Petersen (2004:2) selaku perwakilan World Health Organization (WHO) untuk Indonesia menyatakan ‘sekarang ini masyarakat dunia banyak yang tidak aktif bergerak, atau gaya hidup duduk terus-menerus (sedentary life-style) menyebabkan kebugaran jasmani sangat rendah’. Kasus ini merupakan satu  dari sepuluh penyebab kematian di dunia. WHO memprediksi “pada tahun 2020 sebanyak 73 persen kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular, atau sebanyak 60 persen  kematian disebabkan akibat rendah kebugaran jasmani”. (Peterson., /www.kompas.com/health/2004).
Berdasarkan hasil penelitian, Fu & Fung (2004); dalam  Chin Ming-kai (2008:8) menyatakan ‘A study conducted reported that 80% of Chinese living in Beijing, Shanghai, and Hong Kong were sedentary’.  Maksudnya Fu & Fung menyatakan bahwa 80 persen orang Cina yang tinggal di Beijing,  Shanghai, dan Hongkong berperilaku duduk terus menerus’.  Gaya hidup seperti inilah yang menyebabkan rendahnya kebugaran jasmani masyarakatnya.
Perilaku semacam ini tidak saja terjadi di Cina dan Hongkong, tetapi juga di Eropa.  Perihal ini,  Janz, et al., (2001), Tybor, (2005); Janssen et al (2005) dalam Chin Ming-kai (2008:9) menyatakan sebanyak 130,000 orang anak pelajar dari 34 negara Eropa aktivitas fisik menurun karena waktu yang digunakan lebih banyak menonton televisi.  Kemudian Jordan, (2006);dalam Chin Ming-kai (2008:8) bahwa “Recent surveys reported that time children spent on television, videos, video games and computer five hours per day . Artinya anak-anak menghabiskan waktu menonton televisi, video, video games dan komputer selama lima jam per hari.
Apabila disimak lebih mendalam inti permasalahannya, maka lebih tepat dikatakan terjadinya krisis lembaga pendidikan formal, khususnya di lembaga pendidikan jasmani yang sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Perihal ini Foldesi, (1993), Naul,.(1994);dalam Rusli Lutan (2003:96) menyatakan bahwa ‘krisis seperti ini menjadi isue sentral, tidak saja melanda bangsa Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat, Australia, Inggeris dan Jerman’.  Beberapa isue dimaksud,  pernah  diungkapkan Rusli Lutan pada setiap pertemuan ilmiah sebagai berikut :
                     Isue Program Kurikulum Pendidikan Jasmani di SD. 
Isue ini dapat diamati dari dua sisi, yaitu ; (a) materi kurikulum dan, (b) distribusi alokasi waktunya.   Materi kurikulum pada dasarnya berbagai aktivitas gerak dasar, seperti atletik, permainan, senam, beladiri, dan olahraga tradisional.  Kenyataan ini guru sering memaksakan/mengabaikan siswa untuk melakukan aktivitas fisik yang secara fungsi fisiologis belum siap (memadai) sehingga melanggar prinsip Development Appropriate Practice (DAP).  Kebanyakan dari guru berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari pendidikan jasmani, sehingga terdapat beberapa kekurangan,  seperti ; (a) kuranga memperhatikan tujuan yang bersifat afeksi seperti kesenangan dan keceriaan. (b) kurang menyadari bahwa olahraga merupakan media untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya,  (c) kurang memperhatikan aspek gerak dasar siswa yang bermanfaat bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas sehari-hari untuk mengisi waktu luang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik di sekolah maupun di masyarakat dan  pembentukan gaya hidup yang sehat. 
                     Isue Proses Pembelajaran Terpusat Pada Guru (Teacher-centered)
Perihal ini memiliki beberapa kelemahan, yakni ; (a) kurangnya pengembangan dan variasi aktivitas belajar secara holistik,  (b) kurangnya memahami dampak kebugaran jasmani dan gaya hidup sehat, (c) kurangnya pengalaman guru untuk mengintegrasikan aktivitas pendidikan jasmani dengan bidang lainnya, (d) kurangnya mengembangkan aspek afektif sehingga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa terhadap pendidikan jasmani. (e) kurangnya pemberian bantuan kepada siswa agar mengerti emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas pendidikan jasmani, (f) melakukan aktivitas terlalu mudah atau terlalu sukar sehingga menyebabkan mereka bosan, frustrasi, (g) kurangnya jumlah waktu aktif belajar. 
                     Isue penilaian pendidikan jasmani. 
Isue ini muncul pada : (a) pelaksanaan penilaian belum terintegrasi dalam proses belajar mengajar. (b) materi evaluasi tidak relevan dengan materi yang diberikan, (c) alokasi waktu pelajaran pendidikan jasmani sangat terbatas untuk mengadakan pengetesan.
                     Isue Sarana Prasarana Pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Isue ini merupakan isu yang sangat terasa oleh para pelaksana pendidikan jasmani di lapangan.  Sarana dan prasarana ini meliputi alat-alat, ruangan, dan lahan untuk melakukan berbagai aktivitas pendidikan jasmani, termasuk olahraga tidak memadai. Idealnya sarana dan prasarana ini harus lengkap dengan kualitas yang standar dan representatif.
                     Isue Ketidak Berhasilan Kurikulum Pendidikan Jasmani.
Isue ini dinyatakan belum optimal karena tidak sesuai dengan indikator physically educated person sebagaimana yang digariskan oleh  (NASPE,1992).  Menurut National Association for Sport and Physical Education, (NASPE,1992); dalam Adang Suherman (2008:11) karakteristik physically educated person, ditandai dengan beberapa indikator seperti : (a) memiliki beberapa keterampilan melakukan aktivitas fisik. (b) memiliki kebugaran jasmani yang baik, (c) dapat berpartisipasi secara teratur dalam melakukan aktivitas jasmani, (d) mengetahui akibat dan manfaat dari aktivitas jasmani, dan (e) dapat memahami bahwa melakukan aktivitas jasmani menjadi hidup yang sehat. 
                     Isue Kondisi Pendidikan Jasmani Saat Ini. 
Pendidikan jasmani saat ini menyedihkan bahkan sering dilecehkan. Perihal ini diungkapkan Balitbang Diknas (2008:10) menyatakan ‘menjelang ujian akhir di beberapa sekolah baik SD, SMP dan SMA, proses belajar pendidikan jasmani sering tidak dilaksanakan dengan alasan agar para siswa tidak terganggu’.  Perihal yang sama diungkapkan Komnas Penjasorkes (2007;) dalam Balitbang Diknas, (2008:4) menyatakan bahwa ‘sekarang ini masih sulit dijumpai guru pendidikan jasmani yang kompeten dan sukses mengelola mata pelajarannya’.
Hal senada, Aip Syarifuddin (2002) dalam Balitbang Diknas, (2008:9) mengungkapkan bahwa, ‘kualitas guru pendidikan jasmani di beberapa sekolah pada umumnya kurang memadai, mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara professional’.  Persoalan ini, disebabkan karena keterbatasan kemampuan guru dalam proses pengajaran pendidikan jasmani.  Kondisi di lapangan saat ini masih banyak guru ketika membuka pelajaran menyuruh siswa hanya senam dan lari sebagai bentuk pemanasan.  Kemudian dalam memberikan teknik dasar dengan suasana tegang, karena guru pendidikan jasmani dianalogikan sebagai penegak kedisiplinan dan kekerasan di sekolah.  Terkadang guru hanya menyuruh siswa melakukan permainan sedangkan dia duduk di bawah pohon sambil memegang peluit.  Peristiwa ini telah berlangsung dari generasi kegenerasi sehingga tidak terpikir olehnya untuk menciptakan atau menggunakan strategi pembelajaran yang lebih menarik, dan menyenangkan.


                     Isue ditinjau dari olahraga prestasi,  seperti ASEAN Game, SEA Games, PON dan PORDA prestasi olahraga di Indonesia sangat mengecewakan.
Rendahnya prestasi olahraga seperti ini, merupakan cerminan ketidakberhasilan pendidikan jasmani di tingkat SD dan SMP.  Walaupun disadari bahwa pendidikan jasmani bukan bertujuan menciptakan prestasi, tetapi berkontribusi terhadap pembentukan dasar keterampilan berolahraga.  Ironisnya lagi  di Indonesia mengabaikan arti pentingnya pendidikan jasmani.  Contohnya dibeberapa sekolah banyak guru yang tidak berlatarbelakang pendidikan jasmani  diberi tugas mengajar pendidikan jasmani.  Kejadian ini apabila dibiarkan terus menerus, jangan harap prestasi olahraga nasional meningkat dan jangan harap Indonesia menjadi bangsa yang besar di bidang pendidikan jasmani dan olahraga.
                     Isue Ketidak Cukupan Belajar Gerak. 
Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah menggunakan gerak sebagai media pembelajaran, tetapi waktu yang digunakan tidak mencukupi.  Dalam kaitan ini, Siedentop, Tousignant dan, Parker (1982) dalam Tinning (1987:55) meneliti ‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) hasilnya sebagaimana diungkapkan Tinning sebagai berikut:
 ‘In physical education classes spend somewhere in the vinicity of 28 percent of there lesson time waiting for something to happen (waiting in line, waiting for a turn, waiting for equipment and so on). They spend up tu 20 percent of their time involvet in managerial tasks, such as choosing teams, moving from place to place or being organized for practice. They spend around 20 percent of their lesson time receiving information from the teacher about such things as how to play the next game or how to perform a skill better, and only about 25 percent of the time in actual activity’.

Pernyataan Tinning tersebut maksud adalah: ‘di dalam pembelajaran pendidikan jasmani menghabiskan waktu (waktu terbuang) sekitarnya 28 persen dipergunakan untuk menunggu, seperti (menunggu giliran, menunggu pergantian menggunakan peralatan), kemudian 20 persen waktu digunakan tugas managerial, seperti memilih tim, menggerakan dan mengorganiser praktek dari satu tempat ke tempat lain.  Selanjutnya sekitar 20 persen waktu digunakan menerima informasi pelajaran dari guru tentang bagaimana melakukan permainan (game) berikutnya hanya sekitar 25 persen digunakan untuk melakukan keterampilan.
Penelitian serupa dengan ALT-PE, pernah dilakukan Rusli Lutan (1993:37) mengobservasi tentang Jumlah Waktu Aktif Belajar (JWAB) sampel di Jawa Barat. Kesimpulannya menyatakan bahwa ‘penggunaan waktu pembelajaran pendidikan jasmani tidak mencukupi, sepertiga dari waktu yang digunakan habis terbuang menunggu giliran. 25 persen lagi terbuang dengan mengorganiser materi pembelajaran dan hanya 28 persen melaksanakan inti pelajaran’.  Indikator keberhasilan pelaksanaan pendidikan jasmani menurut Rusli Lutan adalah “jumlah waktu aktif berlatih (JWAB) banyak, waktu menunggu giliran sedikit, dan proses pembelajaran melibatkan partisipasi siswa dan guru secara aktif”. 
Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai media pembelajaran.  Dalam kaitan ini, Wuest dan Bucher (1995:97) menyebutkan,  movement is the keystone of physical education and sport”.  Artinya gerak merupakan kunci dari pendidikan jasmani dan olahraga.  Kemudian Anderson et at, (2006); dalam Chin Ming-kai (2008;12) menyatakan “A recent-European study suggested an accumulation of 90 minutes of  MVPA and 11 to 14 thousand steps daily in order to gain the-health benefits for young  people”.   Artinya di Eropa-saat ini mengusulkan agar anak-anak usia 11 sampai 14 tahun selalu aktif bergerak minimal 90 menit setiap hari dengan tujuan untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya.   Selanjutnya Kaplan, Liverman dan Kraak, (2005);McKenzie et al.,(2003) dalam Chin Ming-kai (2008:8) mengatakan “increasing physical activity through physical education is also a proposed public health strategy to reduce obesity in childhood and adolescence”.  Artinya untuk meningkatkan aktivitas fisik melalui pendidikan jasmani merupakan strategi yang sangat penting untuk mengurangi kegendutan (obesitas) bagi anak-anak dan anak remaja.
Beberapa isue seperti diungkapkan di atas, pernah dijadikan bahan presentasi dalam kongres International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) di Berlin tahun 1999.  Dalam kongres tersebut, banyak ahli pendidikan jasmani menyampaikan hasil survey krisis pendidikan jasmani, diantaranya hasil survey Ken Hardman(1999); dalam Rusli Lutan (2003:115) menyatakan ‘adanya kelemahan di dalam relevansi budaya terhadap nilai-nilai akademik pendidikan jasmani sebagai akibat tidak terlaksananya kurikulum pendidikan jasmani secara tuntas’.  Pernyataan Ken Hardman ini cukup beralasan karena terbukti bahwa implementasi pendidikan jasmani di masing-masing Negara tidak ada yang mencapai 100%.  Contohnya Afrika hanya 25%,  Asia 33%,  Kanada 57%, Ocenia 70%,  Amerika Utara 72%,  Amerika Serikat 74%, Timur Tengah 82%, dan Eropa 87%.  (Rusli Lutan, 2003: 117).
Berdasarkan data tersebut, pendidikan jasmani sedikit sekali mengalami kemajuan yang dicapai dari sisi pengembangan kurikulum.  Ini disebabkan karena sedikit orang yang mau menekuni berbagai disiplin ilmu sebagai landasan pemahaman pendidikan jasmani dan olahraga. Kurangnya publikasi hasil penelitian para pakar pendidikan jasmani dan olahraga Indonesia ke dalam jurnal internasional”.
Kekurangan publikasi seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Tidak ada bukubuku pendidikan jasmani dan olahraga dengan disiplin ilmu yang mumpuni.  Apabila masalah ini dibiarkan, dampak penggiring lainnya menyusup masalah penyakit hipokinetik, obesitas, rendahnya kebugaran jasmani yang pada akhirnya berdampak pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik anak.  
Berbicara tentang belajar dan pembelajaran berbasis Pendidikan Jasmani dan Olahraga, adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah berkahir sejak manusia ada dan berkembang di muka bumi sampai akhir zaman nanti. Belajar adalah suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami manusia sejak manusia di dalam kandungan, buaian, tumbuh berkembang dari anak-anak, remaja sehingga menjadi dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat.
Teori sains terakhir mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat jutaan sperma berjuang mencapai ovum dalam uterus. Jutaan sperma itu seolah saling berebut, berlomba mencapai ovum, banyak di antaranya yang gugur di tengah jalan. Uniknya satu atau dua sperma (pada kasus kembar identik) mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sisa ribuan sperma yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi. Demikian calon manusia ini telah belajar berjuang, beradaftasi bersaing, tetapi juga bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.
Life Long Education (konsep pendidikan sepanjang hayat)  yang dipopulerkan oleh Paul Engrand (dalam laporan UNESCO 1970) sejatinya sudah di firmankan oleh Nabi kita Muhammad SAW sekitar 15 abad yang lalu dengan sabdanya “minaal mahdi ilaal lahdi, or from cradle to the grave. Kata bijak dari Cina juga menyatakan “ jika engkau ingin berinvestasi sepanjang hayat didiklah manusia”. Dengan demikian kebermaknaan belajar dan pembelajaran merupakan kemaslahatan orang banyak. Betapa pentingnya belajar dan pembelajaran menurut ahli filsafat Yunana Seneca (6 SM-65 M) menyatakan bahwa waktu luang yang tidak digunakan untuk belajar sama dengan “Kematian” (Leasure without study is death). Oleh sebab itu tidaklah berlebehan jika konsep belajar dan pembelajaran berbasisi Pendidikan Jasmani dan Olahraga yang sejak dahulu ditekankan kepada istilah mengajar atau pengajaran, selalu berubah dan berkembang.
Perubahan paradiqma dari pengajaran (teaching) yang berfokus kepada aktivitas guru (teacher centered) menuju pembelajaran, yang berfokus kepada aktivitas siswa (student-centered) diawali dengan penelitian dan perbincangan yang cukup panjang, sesuai dengan perkembangan konsep psikologi dan filsafat pendidikan yang sedang berkembang.  Paradiqma dalam konteks ini dimaknai sebagai model berpikir yang berlangsung pada masa dan kondisi tertentu. Dalam sumber lain mengatakan bahwa konsep belajar lebih cenderung atau identik dengan istilah learning, sedangkan menurut Dirjen Dikdasman Depdikbud (2008) pembelajaran identik dengan instruction, walau ternyata dalam konsep mastery learning diterjemahkan menjadi pembelajaran tuntas. Dengan kata lain istilah learning identik dengan pembelajaran.
Pada akhir-akhir ini berdasarkan hasil penelitian Jeanne Chall yang dikembangkan melalui Project Follow Through justru kembali dipertanyakan, apa sih salahnya istilah konsep mengajar (teaching). Betapapun, tingkat kedewasaan, kompetensi dan pengalaman guru tetap diperlukan dalam situasi yang lebih menekankan kepada penerapan konsep pembelajaran (learning).
Dalam kaitan ini bukan berarti harus dimaknai guru sebagai raja yang bertahta dikelasnya, tetapi ditekankan bahwa kedewasaannya merupakan peranan penting tanpa harus mematikan demokratisasi dan kreativitas pembelajaran. Diawali oleh Jeanne Chall dengan publikasinya The Academic Challenge ; What Really Works in the Classroom (2000), diikuti oleh Siegfried Englemann dengan konsep mengembangkan metode pembelajaran langsung (direct instruction) dimana metode ini pada hakikatnya berorientasi teacher-centered.
Para pamrakarsa konsep ini menyampaikan bahwa “jika guru (sebagai penanggung jawab pembelajaran) menjelaskan secara gambling dan tepat hal-hal yang diharapkan siswa, serta menunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas akademik tertentu atau dinyatakan sebagai pencapaian kompetensi dasar tertentu), ternyata siswa dapat belajar lebih baik.
Pembelajaran langsung menolak asumsi bahwa siswa dapat secara spontan mengembangkan pemahamannya sendiri. Debat akademik antara konsep pembelajaran langsung yang berhaluan teacher-centered dengan student-centered berlangsung lama (era 1970-an hingga akhir abad ke 20). Tetapi akhir-akhir ini telah terjadi kompromi antar keduanya denga kesepakatan bergantung ciri materi pembelajaran yang sesuai, dapat diterapkan baik pembelajaran teacher-centered maupun student-centered. Praktik semacam ini kini dilaksanakan baik di Amerika, Australia maupun Eropa.
Sebenarnya jauh sebelum istilah mengajar dipertentangkan dengan istilah pembelajaran, filosof Yunani, Seneca telah menyatakan bahwa aktivitas mengajar tidak dapat dipisahkan dari aktivitas belajar, karena sambil mengajar pada hakikatnya guru juga belajar (men learn while they teach) atau pengajaran mengajari guru (teaching teach teacher).
Dalam pembelajaran yang baik dan multiarah, seorang guru mengajar sekaligus belajar, para siswa belajar sekaligus mengajar, ya mengajar sesama temannya (peer-teaching) saya mengajari kamu, kamu mengajari saya. Apalagi di era komunikasi globalisasi dewasa ini, siswa sering lebih mampu menguasai teknologi informasi daripada gurunya, misalnya dengan browshing di internet.
Jika semula dipertentangkan antara belajar dengan mengajar, maka saat ini kecenderungan bagaimana menerapkan mengajar yang membelajarkan, sehingga istilah belajar mengajar selalu relevan. Berbagai bukti akhir ini semakin menguatkan bahwa istilah learning memang tidak dipisahkan dari istilah teaching . Pembelajaran yang paling efektif bagi siswa, ternyata sejumlah hasil resit kependidikan diperoleh melalui metode belajar sambil mengajar (learning by teaching). Menurut Jean Pol Martin pelopor Learning by Teaching Jerman dimaknai bahwa dalam pengajaran oleh guru ada pembelajaran pada siswa, pada pembelajaran siswa ada pengajaran baik kepada sesama siswa atau dalam hal-hal tertentu dari siswa terhadap guru. Demikianlah pada kenyataannya memang sudah terjadi beberapa kali perubahan paradiqma tentang belajar dan pembelajaran.
Perkembangan global saat ini menuntut dunia pendidikan untuk selalu mengubah konsep berpikirnya. Masa depan (abad ke-21) yang kian menentang memiliki implikasi luas dan mendalam terhadap berbagai rancangan pengajaran dan teknik pembelajaran. Hal tersebut tidak hanya terkait dengan kewajiban moral guru untuk mendorong dan memotivasi siswa agar belajar pengetahuan dan keterampilan yang siginifikan, tetapi juga terkait dengan tugas guru untuk memicu siswa agar bersikap inovatif, lebih kreatif, adaptif dan fleksibel dalam menghadapi kehidupannya sehari-hari. Hal ini membawa konsekuensi bagi guru untuk mampu menjadi model dalam melaksanakan novatif, kreatif, adaptif dan fleksibel. Pada gilirannya guru akan menjadi semakin menyadari bahwa model, metode dan strategi pembelajaran yang konvensional tidak lagi ampuh. Guru sekarang dituntut inovatif, kreatif dan adaptif serta mampu membawa suasana pembelajaran yang menyenangkan di dalam kelas dan lingkungan pembelajaran, di mana terjadi interaksi belajar mengajar yang intensif dan berlangsung dari banyak arah (multiways and joyful learning).
Sekarang ini para ahli futurolgi memprediksi bahwa pada tahun 2020 akan ada revolusi teknologi global (global revolution technology 2020). Perihal ini seperti diungkapkan oleh RAND National Security Research Devision, bahwa revolusi ini akan berdampak besar memberikan sumbangan signifikan bagi perubahan dalam bidang perkembangan ekonomi, kesehatan, kualitas lingkungan dan kekuatan militer. Tentu saja dampaknya berimbas kepada pada dunia pendidikan, serta kepada metode pembelajaran. Hasil resit di 29 negara di 5 benua (termasuk Indonesia) memprediksi bahwa pada tahun 2020 ada sekitar 56 aplikasi teknologi yang akan berkembang dan mampi diimplementasikan diseluruh dunia menjadi semacam revolusi teknologi.
               Rangkuman :
Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan jasmani saat ini,  adalah terjadinya perubahan nilai-nilai budaya.  Bart Crum (1994) Rusli lutan (2003:101) menyatakan ‘a change in movement culture.  Artinya terjadi perubahan (pergeseran) budaya,  dari budaya gerak menjadi budaya diam.  Pergeseran budaya tersebut dipicu oleh dampak globalisasi ekonomi, teknologi komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga anak-anak cenderung menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya.  Contoh dalam kehidupan sehari-hari banyak waktu dihabiskan duduk di depan televisi, video, play-station, internet, facebook dan lain sebagainya.  Pergi kesekolah/kampus menggunakan kendaraan sebagai transportasi, pergi ke mall banyak menggunakan lift dan eskalator ketimbang naik dengan menggunakan tangga. Dampaknya dewasa ini banyak anak-anak usia sekolah rendah tingkat kebugaran jasmani yang pada akhirnya juga banyak menimbulkan penyakit hypokenitik.
                     Soal Latihan :
         Bagaimana usaha anda agar siswa bisa aktif bergerak dalam mengikuti belajar dan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah?
         Strategi dan metode pendekatan apa yang dapat menggairahkan siswa untuk termotivasi lebih giat lagi dalam aktifitas fisiknya?
Apabila disimak lebih mendalam inti permasalahan pendidikan jasmani, terjadinya beberapa issue krisis yang menyebabkan kualitas pendidikan jasmani menurun. Sebutkan beberapa issue krisis tersebut dan jelaskan

1 comment:

  1. pak untuk belajar pembelajaran semester 3 belum ada ya ?

    ReplyDelete