Thursday, September 12, 2013

LANDASAN TEORI BELAJAR & PEMBELAJARAN PENJAS OLAHRAGA



BAB III
LANDASAN TEORI BELAJAR & PEMBELAJARAN PENJAS & OR

Disajikan buat Mahasiswa JPOK FKIP Unlam Banjarbaru

Pendahuluan.

Perbincangan tentang teori telah lama berlangsung, terutama setelah filosof Perancis Rene Descartes (abad ke 16) menyatakan bahwa teori dibangun dari keragu-raguan. Ia terkenal dengan motorya “cogio engosum” , aku berfifkir maka aku ada. Ragukan segala sesuatu, pikirkan, coba pahami, bandingkan, dan berakhir dengan teori. Terlihat sekali bahwa paham rasionalisme yang diawali dengan skeptitisme seperti yang dikembangkan filosof Yunani Aris Toteles. Masih mewarnai pemikiran  Rene Descartes. Pandangan ini telah memperkuat metode deduktif (berangkat dari hal-hal yang umu menjadi satu simpulan khusus) yang melahirkan dan mengembangkan matematika. Namun karena hanya dipikirkan secara mendalam dengan mengacu pemikiran filosof Yunani Kuno, dan tidak perlu mencoba membuktikannya, Descartes sempat terjebak oleh pemikran yang amat naïf terkait siklus hidrologi, karena mempercayai pendapat Thales dan Plato. Menurut Thales, air laut juga jatuh di atas bumi dan masuk dalam tanah.
Plato juga menyetujui ide ini dan berpendapat bahwa kembalinya air laut itu karena adamya Tatare, Jurang besar di pinggir bumi (dengan asumsi bahwa bumi itu datar). Pendapat  ini dianut oleh Rene Descartes (Bucaille, 1987: 254).
Hampir bersamaan dengan itu Roger Bacon, kemudian Francis Bacon di Inggris melahirkan metode nduktif yang berlawanan arah dengan deduktif. Ragukan segala sesuatu, tetapi jangan hanya dipikirkan, lakukan percobaan, eksperimen, buktikan kebenarannya, jika salah maka ulangi sampai mendapatkan hasil yang benar, cek kebenarannya, buat satu simpulan umum tentang hal itu, lalu bangun teori. Metode induksi telah diawali oleh para ilmuwan Muslimseperti JabirIbn Hayyan (Geber), perkembangan laboratorium kimia pertama kali (Bapak kimia), filosof Al-Kindi (Al-Kindu), dari abad ke-8 hingga ke-9. Kemudian ahli fisika Ibnu Al-Haytsam (Al-Hazan) dari abad ke-11yang banyak mempengaruhi Roger Bacon. Juga ahli eksperimentasi kedokteran seperti Ibnu Sina (Avicenna), penyusun ensiklopedi kedokteran pertama, bukunya dalam bahasa Arab yang diterjemahkan dengan judul Canon on medicine,  lama menjadi pegangan para dokter di Erop, dan lain-lain, pada saat dunia barat masih pada abat kegelapan (Arsyad, 1999).
Metode deduktif sekaligus induktif  kemudian berevulusi menjadi metode ilmiah yang landasanya pemikiran reflektif, penerapan deduktif dan induktif secara bergiliran untuk menemukan kebenaran ilmiah . setelah melalui berabad-abad evolusi pemikiran hali ini di Amerika Serikat melahirkan filsafat pragmatism yang dipelopori oleh Charles S. Pierce, William james dan diterapkan secara nyata oleh ahli pendidikan John Dewey pada awal abad ke-XX. Sesuai pendapat Dewey dengan landasan experimentasi, teori yang berwal dari keraguan harus dibuktikan kebenarannya, jika benar dan sudah tidak layak menjadi teori, hal ini ju ga sesuai degan analogi Albert Einstein, teori diumpamakan jembatan yang fondasi di kedua ujungnya merupakan fakta. Jika jembatan (teori) yang dibagun sudah kokoh, maka tentu tidak perlu diruntuhkan, hanya karena keragu-raguan.

1.1.1       Makna Teori

Sebelum berbincang tentang teori-teori pokok belajar, tentunya perlu penyamaan persepsi kita tentang makna teori-teori pokok belajar, tentunya perlu penyamaan persepsi kita tentang makna teori, secara ringkas Dorin, Demmin and Gabel (1990) dan juga Smith (2009:76) menyatakan bahwa karakteristik teori adalah sebagai berikut : (i) teori adalah sebuah penjelasan umum tentang berbagai pengamatan yang dibuat seiring denganberjalannya waktu, (ii) teori menjelaskan dan meramalkan timbulnya prilaku, (iii), suatu teori tidak dapat dibangun diatas keragu-raguan, (iv), suatu teori dapat diubah, dimidifikasi, Kerlinger (1989) menyatakan bahwa teori adalah suatu himpunan dari konstruk-konstruk  (konsep-konsep), definisi-definisi dan proposisi—propossi yang saling berkaitan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis tentang suatu fenomena dengan cara menentukan hubungan antarvariabel, dengan tujuan menjelaskan fenomena tersebut.
            Oxforld Advanced Learners Dictionary(1990:1330) mengungkap beberapa makna teori, antara lain : suatu bteori adalah suatu himpunan gagasan yang masuk akal dan bertujuan untuk menjelaskan fakta-fakta atau kejadian-kejadian, juga dinyatakan bahwa; suatu teori adalah pernyataan tentang prinsip-prinsip yang berlaku bagi subjek bahsan tertentu. Dictionary.com yang diakses tanggal 12 November 2009 dan bersumberkan http:/dictionary.reference.com./browser/theory mengemukakan sejumlah makna tentang teori. Diantaranya dinyatakan, teori adalah suatu himpunan koheren dari sejumlah proposisi umum yang digunakan sebagai prinsip-prinsip unutk menjelaskan sutau peristiwa, ataupun fenomena. Adapun didefinsikan bahwa teori adalah suatu konsep atau pandangan khusus tentang sesuatu yang harus dikerjakan atau metode untuk melaksanakan sesuatu, suatu system yang tersusun dari sejumlah hukum-hukum dan prinsip-prinsip. Sedangkan Web define theory (http:/www.google.co.id/search) diakses pada tanggal yang sama,  meyatakan bahwa teori adalah sekimpulan hukum-hukum, gagasan, prinsip dan teknik yang digunakanpada suatu subjek khusus. Juga dinyatakan bahwa teori adalah suatu penjelasan tentang sejumlah peristiwa, atau secara lebih khusus, teori adalah penjelasan tentang hubungan antara dua atau lebih konsep atau variabel.
            Mencoba memahami esensi dari sejumlah proporsisi tentasakang teori di atas, dapat ditarik simpulan bahwa suatu teori adalah suatu penjelasan tentang hunbungan atara dua atau lebih konsep, atau variabel, yang berupa sekumpulan hokum, gagsan, prinsip dan teknik-teknik tentang subjek tertentu. Teori tidak bersifat kekal, karena dapat diubah jika ada bukti baru yang bersifat menyangkal teori itu. Dalam khasanah pembelajaran, dominasi teori behaviorisme demikian kuatnya, bahkan berlangsung puluhan tahun. Namun dengan sejumlah bukti yang berpangkal dari suatu pradigma baru dan keansahannya tidak dapat disangkai pada saat itu, teori behaviorisme dgantikan oleh kognitivisme.
Dalam  konsep pembelajaran, Bruner membedakan antara teori pembelajaran, (Instructional Theory) dan teori belajar, (Learning Theory). Dalam hal ini pembelajaran semakna dengan pengajaran. Menurut Bruner (Degeng, 1989 teori pembelajaran adalah preskritif dan teori belajar adalah deskriptif. Karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan dikatakan sebagai deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori pembelaran menaruh perhatian pada bagaimana seorang (guru) memengaruhi orang lain agar terjadii proses belajar. Teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol dengan variabel-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar memudahkan belajar  (Budningsih, 2005: 11)  Teori belajar menaruh perhata pada hubungan diantara variabel yang menetukan hasil belajar. Teori ini menekankan  kepada bagaimana seharusnya seseorang belajar. Reigeluth (Dedeng, 1989 ) mengembangkan teori Bruner ini dengan menyatakan bahwa sifat preskriptif dan deskriptif ini dimiliki baik oleh teori pembelajran maupun teori belajar bergatung kepada tujuan atau proporsisi yang dipergunakan.

1.1.2       Hakikat Universal dari Belajar

Seperti kita ketahui, dewasa ini terjadi perkembangan yang amat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, kebudayaan, pertahanan, komunikasi yang berdampak pada pendidikan dan pembelajaran. Dalam kaitan ini UNESCO dan sesuai laporannya yang diberi judul Learning:The Treasure Within (1996) menyampaikan adanya sejumlah tantangan controversial yang harus dihadapi dengan cara menyeimangkan berbagai tekanan (tension), Yaitu tekanan antara tuntunan : global dengan lokal, universal dengan individual, pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, tradisional dengan modern, antara kebutuhan spiritual dengan kebutuhan material, dan sebagainya. Tantangan yang bersifat universal ini juga harus dihadapi secara universal pula.
Dalam dunia pembelajaran, untuk menghadapi dan beradaptasi dengan berbagai tantangan itu. UNESCO memberikan resep berupa apa yang disebut empat pilar belajar. (four pillars of education/learning), yaitu (1) learning to know, (2) learning to do) (3) learning to live together) dan (4) learning to be).  Secara ringkas kita bahas empat pilar itu d bawah ini.

1.1.3       Learning to Know

Belajar untuk mengetahui, (learning to know), berkaitan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk mengetaui oleh UNESCO dipahami sebagai cara dan tujuan dari eskstensi manusia. Hal ini sesuai dengan penegasan Jacques Delors ( 1966 ) sebagai ketua komisi penyusun laporan Learnig: the treasure within, yang menyatakan dua mabfaat penetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara ,(means) dan pengetahuan sebaga hasil atau tujuan (end). Sebagai cara hidup, terkait keniscayaan bahwa manusia memang wajib memahami dunia disekelilingnya, minimal sesuai dengan pemenuhan kebutuhannya untuk menjadi makhluk yang berkehormatan dan memiliki percaya diri, mengembangkan keterampilan okupasionalnya, serta ber berkomnkasi dengan yang  lain. Dari segi tujuan, belajar untuk mengetahui bertujuan untuk memberkan kepuasan karena perolehan pemahaman, pengetahuan dan kepuasan ,melalui penemuan-penemuan secara mandiri.
Belajar  untuk mengetahui berimplikasi terhadap diamokodasikannya konsep belajar tentang bagaimana belajar, (learning how to learn), dengan mengembangkan seluruh potensi konsentraisi pembeajaran, keterampilan mengingat dan kecakapan untuk berpikir. Sesuai fitrahnya, sejak bayi, anak kecil harus belajar bagaimana berkonsentrasi terhadap objek atau orang-orang lain. Proses untuk memperbaiki keterampilan berkonsentrasi ini dapat bermasifestasi dengan bebagai kesempatan belajar yang berbeda-beda, yang muncul di sepanjang kehidupannya.
Pengembangan keterampila mengingat adalah suatu wahana yang unggul untuk menanggulangi aliran yang berlimpah dari informasi instan yang disebarluaskan oleh banayak media pada saat ini. Berbahaya jika kta berkesimpulan bahwa arus informasi yang luar biasa bnayaknya ini tidak perlu ditanggulangi dengan penigkata keterampilan dalam mengingat. Kecakapan manusia dalam memorisasi asosiatif yang spesifik ini tidak boleh direduksi semata oleh hadirnya proses automatisasi, tetapi harus selalu dikembangkan secara berhati-hati.
Sementara itu, berpikir terkait sesuatu yang dipelajari anak, mula-mula dari orang tuanya, kemudian dari para gurunya. Proses berpikir ini harus terkait dengan keterampilan menguasai penyelesaian masalah praktiks maupun mengembangkan masalah abstrak. Oleh sebab itu pembelajaran sebagai praktik pendidikan harus mampu memandu siswa untuk mampu memandu siswa secara sinergis penalaran deduktif sekaligus penalaran induktif yang pada hakkatnya justru suatu proses yang berbeda arah. Keterampilan berpikir secara reflektif ini penting untuk melatih anak menyelesaikan berbagai prolema kehidupan. Belajar untuk berpikir merupakan pembelajaran sepanjang hayat, seseorang selalu siap belajar unutk berpikir, selama hidupnya tidak akan mengalami kebosanan karena menghadapi keniscayaan rutinitas.

1.1.4       Learning to Do

Konsep learning to do ini terkait dengan pertanyaan pokok, bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga kita mampu membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan. Dalam hal ini pendidikan dihrapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama berhubunhan dengan ekonomi industri, dimana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaanya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para luluasan sekolah menyiapkan jenis pekerjaanya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self employment), dalam semangat entrepreneuship. Suatu hal yang patut dicatat dan diimplikasikandengan baik dalam kurikulum pembelajaran di sekolah., sejak paruh kedua abad ke-20 yang lalu telah ada pergeseran besardalam dunia industry. Jika dulu lebih berpokus pada pekerjaan fisik di limgkungan manufaktur, maka saat ini justru yang banyak berkembang yaitu layanan jasa. Pekerjaan ini semaki dibutuhkan denga berkembang pesatnyateknologi komunikasi dan informasi, pekerjaan yang “tidak tampak” (intangible) makin menjmur.
Belajar untuk bekerja, learning to do adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Jadi menurut konsep UNESCO belajar jenis ini berkaitan dengan pendidikan vokasional. Pada perkembangannya, dunia usaha/dunia industry menuntut agar setelah lulus, para  siswa pembelajar siap memasuki lapangan kerja, sehinggga seharusnya ada link and match antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya, sekolah wajib menyiapkan berbagai keterampilan dasar untuk siap bekerja. Keterampilan dan kompetensi kerja harus dikuasai siswa, sejalan denga tuntunan perkembangan dunia industry memang semakin tinggi, tidak sekadar pada tingkat keterampilan kompetensi teknis atau operasiaonal, tetapi bahkan sampai dengan kompetensi profesioanal. Sehubung dengan pesatnya perkembangan dunia kewirausahaan, pendidikan dan pembelajaran dituntut untuk mampu menyiapkan para lulusan yang siap mengisi sector informal, itu berarti pembelajaran harus mampu mengembangkan jiwa inovatif siswa.

1.1.5       Learning to Live Together

Belajar untuk hidup bersama,( Learning to Live Together), mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologo komunikasi dan informasi. Komunikasi antar manusia di kedua belahan dunia kini sudah dalam hitungan detik. Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling berbagi dan, bekerja sama dan hidup bersama, saling menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama. Anak-anak harus banyak belajar dari hidup bersama secara damai, apalagi di alam Indonesia yang multikultur, multietnik ini sehingga mereka biasa bersosialisasi sejak awal (being sociable). 
Sepanjang sejarah, kehidupan manusia secara konstan memperoleh ancaman dari berbagai konflik, tetapi resiko menghadapi konflik ini semakin tinggi terutama karena dua faktor penyebab. Penyebab pertama adalah potensi potensi luar biasa untuk merusak yang berkembang dari diri manusia sendiri, dan ini dibuktikan di dalam abad ke-20 yang lalu. Pada abad ini berlangsung dua perang dunia, perang dunia I dan perang dunia II yang menghancurkan kemanusiaan, membunuh jutaan manusia, menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan global. Penyebab keduan, perkembangan media informasi yang luar biasa canggih sehingga berita tentang konflikdi berbagai belahan dunia cepat tersebar luas, dan hal ini telah banayak berpengaruh terhadap diri manusia, sayangnya justru pengaruh negative semacam ini yang paling mudah ditiru. Sehubung dengan itu muncul pertanyaan mendasar. Dapatkah kita berbuat lebih baik? Dapatkah kita hidup berdampingan secara damai untuk memperoleh kemaslahatan bersama? Jawabanya tentu melalui usaha terus menerus yang tidak kenal lelah dan tidak kenal putus asa melalui dunia pendidikan.

1.1.6       Learning To Be

Belajar untuk menjadi manusia yang utuh (learning to be), mengharuskan tujuan belajar dirancang dan diimplemantasikam sedemikian rupa, sehingga pembeajaran menjadi utuh,paripurna. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan, terhadap tuhan, intelektual, emosi, social, fisik, maupun moral. Seimbang dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan social, dan keceradasan spiritual. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang banyak belajar dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan itu mereka harus berusaha banyak meraih keunggulan (being excellene) keunggulan ditunjang dan diperkuat oleh moral yang kuat (being morality). Moral yang kuat wajib ditunjang oleh keimanan inilah yang diharapkan mampu memandu pembelajaran untuk belajar menghargai orang lain, toleran terhadap hak-hak orang lain, dan memahami bahwa hidup bersama dengan berbagai jenis ras, suku, warna kulit, bahasa, tradisi dan budaya merupakan suatau keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Pembelajar secara ringkasnya harus mampu menemukan orang lain (to discover other people) sebagai bagian dari dirinya sendiri. Ikatan manusia semacam ini akan lebih diperkuat jika sejak kecil anak sudah dibiasakan, dilatih, dihadapkan kepada situasi, bahwa manusia diseluruh dunia ini harusnya memang menuju kejutuan umum bersama (toward the common goals) , yaitu tercapainya kondisi dunia yang sejahtera, aman, adil, makmur dalam kesejahteraan an salng menghormati.

1.1.7       Implementasi Empat Pilar Pendidikan di Indonesia

Implementasi empat pilar pendidikan seperti yang dicanangkan UNESCO ini dapat dilihat dalam konsideran yang melandasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam kaitan ini, reformasi pendidikan yang melahirkan visi pendidikan nasional Indonesia harus mencakup hal-hal sebagai berikut.
Pertama, penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebabagi suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didi yang berlangsung sepanjang hayat, di dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemaun, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran pradigma pembelajaran. Paradigma pengaajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentranformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya, bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkpribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, mayarakat, bangsa, dan nergara.
Kedua, adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigm manusia sebagai subjek pembanguanan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya yang digamabarkan sebagai manusia yang memiliki karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Proses pendidikan harus mencakup: (a) penumbuhkembangan keimanan, ketakwaan, (b) pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan, demokrasi dan kepribadian, (c) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) pengembangan, penghayatan,  apresiasi, dan ekspresi seni, serta (e) pembentukan manusia yang sehat jasmani dan rohani. Proses pembentukan manusia itu pada hakikatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Ketiga, adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang teritegrasi dengan lingkungan sosio-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan yang paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan denga pemahaman dirinya dan limgkungan kulturalnya.
Jika kita melihat pada jargon-jargon yang dipergunakan di dalam menyusun konsideran Peraturan Pemerintah tersebut, maka terlihat jelas arah pendidikan dan  pembelajaran di Indonesia akan ke mana, serta konsep pendidikan dan pembelajaran apa yang sedang diminati di Indonesia. Beberapa istilah seperti pembudayaan, pergeseran paradigma pengajaran ke paradigma  pembelajaran, integrasi peserta didik denga  lingkungan sosio-kulturalnya memperlihatka pengaruh arus konstruktivisme social ke dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sementara itu, sesuai dengan konsep pembelajaran sepanjang hayat dan learning to be dari dari UNESCO, gambaran tentang manusia Indonesia seutuhnya sebagai tujuan akhir pendidikan telah dirumuskansecara lengkap.    

1.1.8       Landasan Filosofis Pendidikan Jasmani

Dualisme dan monoisme tubuh.  Pembahasan secara filosofis pendidikan jasmani dan olahraga, di dekati dari konsep dualisme antara tubuh dengan pikiran, yang kemudian dikembangkan menjadi konsep monoiesme.  Menurut paham dualisme antara tubuh dan pikiran sangat jelas berbeda. Tubuh hanyalah suatu benda kompleks yang realistik sementara pikiran berada pada pikiran pada dimensi abstrak dan bersifat mental. Pikiran tidak bergantung pada material tubuh, karena itu ketika tubuh tidak berfungsi lagi pikiran dapat terus eksis secara independen.
Menurut tokoh filosofis, Descartes (1960; dalam Krectmer, 2005;49) tubuh yag berada di alam nyata memiliki kualitas yang bervariasi seperti bentuk, warna kulit, tinggi badan dan struktur molekul, sementara pikiran berada pada alam sebaliknya dan tidak memiliki bentuk, warna, tinggi badan dan struktur molekul. Sebagai contoh, rasa kesenangan yang muncul ketika melakukan senam aerobik adalah aktivitas pikiran berupa perubahan elektro-kimia di dalam saluran cranium otak.
Pendekatan dualisme ini mencirikan bahwa tubuh berhubungan dengan pikiran. Dalam upaya memahami gerak untuk dapat meningkatkan penampilannya, dapat didekati dari dua sisi yang berbeda, yakni : (1) secara fisik dapat dikaji dari sistem faal tubuh, (2) dari rasa takut, berani, motivasi dan personality.  Menurut Krecthmer (2005;50) dualisme sangat terkait antara pikiran dan praktik, seperti dikatakan Descartes bahwa unsur fisik berbeda dengan unsur pikiran. Fisik berada dalam ruang, sebuah bola basket berada dalam ruangan. Tubuh dapat diukur dan diperlukan sebagaimana objek benda lain, yang patuh tunduk pada aturan hukum alam. Tubuh adalah mesin gweraksebagaimana aksi gerak dapat dijelaskan melalui prinsip prinsip mekanika, seperti tuas/ungkit, daya, gaya, kecepatan sudut,dan sebagainya. Sementara itu kaum dualisme juga memandang bahwa pikiran adalah sisi subjektif kehidupan. Pikiran tidak sama dengan jasat fisik. Gagasan yang dihasilkan dari pikiran tidak memiliki ukuran dan bentuk seperti halnya tubuh. Pikiran tidak perlu patuh pada aturan alam, tetapi bisa dikendalikan oleh aturan-aturan logika, koherensi, dan kaum unsur-unsur berpikir lainnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa dualisme menyakini adanya interaksi antara tubuh dan pikiran.  Tubuh mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi tubuh.  Meskipun alasan mengapa ada hubungan antara dimensi utuh fisikal dengan non-fisikal sukar dijelaskan, tetapi kaum dualis mengatahui dari pengalaman pribadi dan penelitian ilmiah bahwa tubuh dan pikiran mempengaruhi satu sama lain. Tubuh tidak dapat bergerak sendiri karena hanya sebuah mesin gerak, menunggu perintah dari pikiran. Tubuh dan pikiran hubungan simetris karena tubuh bergantung kepada pikiran.
Berkaitan dengan hal itu, diperlukan intensitas gerak yang dilakukan. Otak dan gerak memang saling mempengaruhi. Pada perkerjaan latihan fisik yang terlalu berat, melebihi kapasitas fisik itu sendiri. Contoh M. Ali petinju legendaris menjelang masa tuanya terkena gangguan motor control sensoris di jaringan otaknya disebut penyakit Parkinson.  Menurut Freberg, LA (2006) Discovering Biological Psychology. Boston Hougton Miffin Company….Parkinson adalah jenis penyakit degeratif ciri-cirinya adalah kesukaran dalam bergerak, tremor dan kebekuan ekspresi wajah. Freberg menjelaskan bahwa penyakit ini nampak ketika neuron dopaminergic dari substantia nigra di batang otak mulai menurun fungsinya. Substantia nigra membentuk hubungan erat dengan basal ganglia dalam cerebral hemisfer. Hasil akhir dari degenerasi dalam substantia nigra adalah kurangnya aktivitas dopaminergic pada basal ganglia. Karena basal ganglia sangat berpengaruh dalam menghasilkan gerakan volunter (voluntary movement) maka tidaklah mengherankan orang yang mengalami Parkinson sangat sukar dalam mengendalikan gerakan volunter.
Namun demikian jalinan hubungan antara aktivitas jasmani dengan penampilan dan fungsi otak menumbuhkan bentuk pengetahuan baru dalam pandangan psikoanalisis pengetahuan diri (pikiran) dan pemahaman filosofi gerak insani dalam konteks kecerdasan jasmani.  Aktivitas jasmani (olahraga) dalam psychoanalysis pengetahuan diri merupakan satu bukti keterkaitan domain kognitif dalam kegiatan olahraga. Olahraga bisa dianggap sebagai penjelmaan baru dari aktivitas fisik, yang kemudian lahir istilah baru yaitu ilmu keolahragaan, perlu pula dianalisis secara filsafat sejauhmana bisa diketahui diri individu dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan fitrah individu berkualitas.
Pendidikan jasmani dan olahraga dalam konteks pengetahuan diri juga mengarah pada diskusi Socrates bahwa “ketahuilah apa yang saya tahu dan apa yang saya tidak tahu” atau kadang-kadang diartikan sebagai kapabilitas diri dan batasan diri (Hyland, 1990:71).
Suatu ungkapan pelatih yang sering terlontar saat menasehati atletnya adalah bermainlah apa yang menjadi kelebihan diri dan mengetahui apa yang menyebabkan keterbatasan diri, untuk kemudian bermain dalam batas-batas tersebut. Meskipun sukar mengetahui batas-batas kemampuan dan kelebihan diri sendiri. Bermainlah dalam batas-batas kemampuan diri mengisyaratkan bahwa bermain jangan melebihi kapasitas diri, tetapi juga bermainlah sampai mencapai keterbatasan diri. Mengetahui apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan adalah jenis pengetahuan diri, yang dalam kaidah filsafat Socrates disebut pengetahuan diri.

1.1.9        Landasan Biologis Peristiwa Gerak Dalam Aktivitas Pendidikan Jasmani.

Ketika penampilan gerak secara luar biasa, istimewa, menakjubkan dapat disuguhkan, sebagaimana yang pernah di lakukan Lim Swie King dengan jump smashnya, Susi Susanti dengan  drop shotnya menukik tajam atau Taufik Hidayat dengan backhand smash andalannya merupakan peristiwa gerak yang sangat luar biasa. Pertanyaannya mengapa mereka bisa melakukan itu?. Bagaimana proses geraknya?. Untuk keperluan itu, disajikan proses biologis kontraksi otot yang dikendalikan oleh sistem syaraf. Jenis otot. Otot membentuk jaringan tubuh manusia yang tugasnya bertanggung jawab terhadap semua gerakan tubuh manusia. Ada dua jenis otot, yakni : (1) otot halus (smooth muscle), (2) otot lurik (striated muscle) dinamakan otot lurik karena terbagi dua, yakni otot rangka skeletal muscle dan otot jantung cardiac muscle Freberg (2006).  Otot halus ditemukan di sistem pencernaan, pembuluh darah arteri dan sistem reproduksi. Otor jantung terdiri dari jaringan serabut otot disekitar jantung sedangkan otot rangka menempel pada tulang fungsinya menggerakkan manusia.
Memahami peristiwa gerak yang terjadi, diperlukan konsep teori biologis tentang gerak manusia. Untuk keperluan itu, proses biologis kontraksi otot dikendalikan oleh sistem syaraf.  Otot dapat berkontraksi disebabkan oleh pergerakan filament tebal myosin pada filament tipis actin.  Manakala filament bergeser satu sama lain, maka garis Z bergerak memendek dan sarcomer pun memendek, maka terjadilah kontraksi otot dan terjadinya gerakan.  Awal terjadinya gerakan dapat dipahami melalui konsep aktivitas gerak dalam dua area fungsi, yakni pre frontal cortex dan parietal lobes.  Kedua area ini merupakan bagian otak yang berfungsi untuk mewujudkan suatu gerak, dan menyusun urutan gerak sebelum gerakan itu terjadi. Selanjutnya  pre frontal cortex dan parietal lobes ditindak lanjuti oleh supplementary motor area dan premotor area yang dalam tugasnya bertanggung jawab mengelola gerakan. Fungsi kedua area motor tersebut terutama memunculkan gerakan-gerakan yang kompleks.  Secara biologis peristiwa terjadi akibat perubahan sistem kimia dan elektrik di dalam reseptor-reseptor otot. Reseptor otot tersebut membentuk jaringan sistem untuk dapat memunculkan peristiwa gerak. 

1.1.10  Landasan Filosofis Gerak Dalam Aktivitas Pendidikan Jasmani dan Olahraga.

Di dalam pengertian pendidikan jasmani berdimensi filosofis gerak insani mengantarkan individu berada pada tingkat kualitas hidup yang lebih baik lagi, yakni memiliki tingkat kesejahteraan paripurna. Gerak insani melibatkan semua sistem tubuh, seperti sistem saraf, otot, tulang.  Gerak insani terkait dengan prinsip mekanika yang diterapkan dalam tubuh, misalnya gravitasi dan pengaruh daya yang diterapkan.  Atas dasar paparan sebelumnya, penulis mencoba merumuskan gagasan baru sebagai bahan yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai sajian bahan penulisan selanjutnya. Pembahasan dimulai dari pengertian pendidikan jasmani dalam perspektif filosofis gerak insani.
Filosofi pendidikan jasmani dan olahraga menghantarkan penulis betapa pentingnya pemahaman kecerdasan jasmani berbeda dengan motor educability atau bodily-kinestetics intelliegnce.   Kecerdasan jasmani dimaksud sangat komprehensif mencakup kemampuan nalar untuk melakukan gerak jasmani (olahraga) secara mudah dan efesien, tetapi pada saat yang bersamaan dapat mengambil nilai refleksi dari kegiatan yang dilakukannya.  Kecerdasan jasmani mengkombinasikan antara kemampuan mental (intelektual), emosi dan spritualnya secara serampak dan tidak ada bagian dimensi utuh manusia yang dilupakan. Penelusuran psikoanalisis pengetahuan dalam konteks olahraga mengantarkan pemahaman kecerdasan jasmani dalam dimensi psikomotorik, kognitif dan afektif. Dalam psikomotorik terkandung muatan pilihan gerak yang di intervensi oleh status sosial, jenis olahraga. Dimensi koqnitif berupa pengetahuan bio-fisikal tubuh dalam upaya mendapatkan status jasmani yang optimal.
Dimensi affektif berupa suasana hati (mood) manakala keterikatan diri dengan olahraga sangat dipengarhui oleh salera gerak, kesempatan gerak, kebiasaan gerak, pola asuh keluarga serta keadaan fisik. Beberapa dimensi ini sering berinteraksi membentuk suatu pemahaman baru dalam penyelenggerakan pendidikan jasmani di sekolah dan di luar sekolah. Pertanyaan yang dapat diajukan bagaimanakah pola manajemen pendidikan jasmani dapat memfasilitasi kebutuhan gerak?.

1.1.11  Landasan Neuro-Fisiologis Gerak

Secara fisiologis, landasan terjadinya gerak di awali dari niat sebagai pusat pengambil inisiatif yang ada pada Corpus Striatum.  Corpus Striatum berfungsi sebagai pusat sistem extrapyramidal, selanjutnya niat dikomunikasikan kepusat memori dan emosi untuk menentukan pola gerak.  Pesan (informasi) yang diterima oleh saraf pusat, kemudian direlay kedaerah bagian otak yang menyusun hirarki tingkat menengah.  Secara anatomi, memori dan emosi terletak pada area motor suplementer dan cortex asosiasi. Semua struktur ini berkorelasi dengan bagian otak lain. Secara fisiologis, rencana gerak diterima dari pengendali gerak yang terletak dibagian cortex cerebri  dan cerebellum, nuclei, subcortical dan batang otak. Neuron-neorun ini menerima impuls komando bersamaan menerima impuls-impuls afferent yang berasal dari reseptor-reseptor otot, tendo, sendi, kulit, alat vestibular dan mata, yang memberitakan tentang posisi awal tubuh yang akan digerakkan.
Informasi  aferen ini di integrasikan kemudian disusun menjadi program gerak, kemudian disalurkan melalui jalur  desenden kebatang otak dan medulla spinalis.  Pertanyaan apa yang mengatur gerak berjalan?. Gerak berjalan diatur oleh medulla spinalis pada tingkat neuron motoris. Di tingkat medulla spinalis terpadat jaringan interneuron yang berfungsi sebagai pusat pembangkit gerak involunter berkoordinasi dengan impuls aferen yang mengatur otot-otot lengan, bahu, tubuh dan tungkai. Gerak volunter adalah jenis gerak sadar dan kewaspadaan, sedangkan gerak involunter adalah gerak yang tidak disadari atau disebut gerak refleks. Ciri-ciri gerak volunter : (1) gerak sadar dan waspada mengenai apa yang dikerjakan, (2) perhatian dicurahkan pada gerak yang dilakukan.

1.1.12  Implikasi Teori Belajar Terhadap Pendidikan Jasmani dan Olahraga.

Teori belajar yang menjadi dasar upaya pendidikan banyak mempengaruhi kurikulum, metode belajar mengajar, administrasi pendidikan, prasarana pendidikan, serta tuntutan kompetensi guru dan kepala sekolah. Oleh karena itu teori belajar merupakan tetik sentral dari semua permasalahan pendidikan dalam upaya melihat implikasi teori-teori belajar tersebut terhadap upayan pendidikan serta proses belajar motorik akan sangat bermanfaat (Supandi dan Seba (1984). Teori belajar yang menjadi tinjauan dalam hal ini adalah teori belajar behaviorisme dan kognitivisme. Kedua teri tersebut secara mendasar memiliki perbedaan yang nyata, tetapi dalam beberapa hal memiliki kesamaannya. Adapun beberapa teori yang tergolong dalam behaviorisme adalah ; teori keterhubungan (contingency) dari Guthrie, Teori Koneksionisme dari Thorndike, Teori Operant dari Skinner, teori Clasicall conditioning dari Pavlop dan Teori Drive-stimulus reduction dari Hull. Beberapa teori pendukung lainnya seperti teori belajar kelompok kognitivisme diwakili oleh Gestalt, teori Skemata oleh Piaget, teori kognitif social oleh Bandura dan teori pengolahan informasi oleh Norman. Apa yang akan dikemukakan di bawah ini merupakan gabuangan dari implikasi yang dikemukakan oleh Hergenhahn dan Olson (1993 ; hal 431-441) dalam hal implikasi teori-teori di atas terhadap pendidikana secara umum, serta implikasinya terhadap teori belajar motorik yang dikutif oleh Oxendine (1968 :hal 25-42).

1.1.13  Implikasi Teori Belajar Keterhubungan Guthrie Terhadap Pendidikan Jasmani.

Guthrie menekankan pada hubungan antara stimulus dan response dan berganggapan bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Guthrie menekankan betapa pentingnya pengulangan (drill). Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang diharapkan.
Latihan dianggap penting sekiranya hal ii menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang menghasilkan perilaku yag di inginkan. Karena setiap pengalaman sifatnya unik, maka siswa harus mempelajarinya berulang-ulang. Secara garis besar implikasi teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
           Keterampilan tau keahlian kegiatan motorik dapat dikembangkan melalui ulangan dalam kegiatan. Kegiatan motorik melibatkan sejumlah stimuli yang merupakan dasar pembinaan kebiasaan. Dengan praktek yang banyak, maka akan terbina kebiasaan atau respons yang benar.
           Hadiah dan ganjaran dapat bermanfaat hanya bila ini menyebabkan adanya kesinambungan kegiatan dalam situasi belajar yang diharapkan. Upaya membina motivasi belajar hanya diterapkan bila individu segan berpartisipasi dalam situasi belajar yag diharapkan.
           Respons yag baru akan mengganggu respons yag telah dipelajari.oleh karena itu, kegagalan atau respons yag salah menyebabkan lupa terhadap kebiasaan yang benar. Guru hendaknya menekankan pada keberhasilan dari upaya individu dengan melengkapi situasi belajar yang dapat menjamin keberhasilan siswa. Stimuli lama hendaknya dibatasi sedikit mungkin sehingga tidak terganggu.
           Kondisi situasi belajar hendaknya lebih menyerupai keadaan sebenarnya sehingga respons yang telaha dipelajari dapat mengatasi stimuli yang berupa timnya untuk pertandingan seharusnya melatih timnya dalam keadaan yang menyerupai ondisi yang sebenarnya dalam pertandingan itu.

1.1.14  Implikasi Teori Belajar Koneksionisme Thorndike Terhadap Pendidikan Jasmani

Thorndike tokoh utama teori belajar koneksionisme yang biasa disebut teori S-R. Thorndike terkenal karena hokum belajarnya, yakni hokum kesiapan, hokum sebab akibat dan hokum latihan. Dalamteori ini Thorndike menghendaki kelasnya menjadi teratur dengan tujuan-tujuan yang jelas. Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan kemampuan respons siswa. Respons yang salah harus diperbaiki secepatnya, pentingnya penghargaan (reinforcement) terhadap siswa yang baik dan benar. Secara ringkas, implikasi teori Thorndike sbb :
           Pembelajaran praktek di lapangan dilaksanakan dala kondisi yang menguntungkan agar respon yang terjadi mejadi efektif.
           Hukum kesiapan sangat penting
           KBM diatur dari yang termudah kearah yang sukar
           Tugas gerak diatur secara bertahap
           Transfer gerak hanya mungkin terjadi bila ada unsure yang sama (identik) dengan keadaan lingkungan yang sebenarnya.
           Reienforcement sangat membantu keberhasilan.

1.1.15  Implikasi Teori Belajar Operant Conditioning dari Skinner Terhadap Pendidikan Jasmani dan Olahraga

Skinner tergolong tokoh teori belajar behaviorisme. Beberapa teorinya banyak menghasilkan metode mengajar yang efektif. Skinner berganggapan bahwa ganjaran (reinforcement) itu semata-mata hanya memperkuat respons.
Guru yang menganut teori Skinner akan menghindari hukuman (punishment) mereka mementingkan reinforcement terhadap erilaku yang benar. Menurut SKINNER “ Permasalahan perilaku di sekolah adalah hasil dari perencanaan pendidikan yang jelek, seperti gagal member kesempatan untuk SELF-PACING gagal menggunakan reinforcement yang tepat, pemberi materi yang terlalu sulit untuk dipahami, menggunakan disiplin terlalu kaku atau tuntutan terlalu berlebihan”.
Secara ringkas, implikasi teori belajar Skinner sbb:
           Guru hendaknya mengupayakan pengajaran secara terprogram.
           Guru hendaknya mengusahakan penggunaan SELF-TESTING (swa-penilaian) sebagai upaya memantapkan respons.

1.1.16  Implikasi Teori Belajar Drive-Stimulus Reduction dari Hull.

Perbedaan mendasar atara teori Hull dengan Thorndike, Guthtrie terletak pada pemberian motivasi. Teori Hull lebih banyak terhadap pengurangan pemberian dorongan rangsangan (drive-stimulus-reduction). Hull lebih menekankan pengurangan tingkat kecemasan sebagai suatu dorongan dalam pembelajaran manusia.   Secara ringkas, implikasi teori Hull sebagai berikut :
Implikasi terpenting bagi Hull adalah “ditemukannya adanya hambatan yang bisa timbul dari kelelahan pada saat latihan”. Hal ini dibuktikan dengan Kebaikan latihan berdistribusi (distributed practice) lebih dari latihan padat (massed practice). Oleh karena itu sangat penting merancang latihan dengan menyertakan masa-masa istirahat. (interval) diantara latihan. Istirahat yang cukup menjelang masa pencapaian puncak (asymptotic) masa pencapaian maksimal akan meningkatkan pencapaian hasil belajar.

No comments:

Post a Comment