Wednesday, August 21, 2013

TEORI-TEORI BERMAIN



JALAN-JALAN  KE KOTA BLITAR
JANGAN LUPA MEMBELI SUKUN
JIKA KAMU INGIN PINTAR
BELAJARLAH DENGAN TEKUN

By : Ma'ruful Kahri

Teori-teori Bemain
1.  Teori rekreasi atau teori pelepasan
Teori ini diutarakan oleh bangsa Jerman, yang bernama Schaller dan Lazarus, menerangkan bahwa permainan itu merupakan kegiatan manusia yang berlawanan dengan kerja dan kesungguhan hidup, tetapi permainan itu merupakan imbangan antara kerja dengan istirahat. Orang yang merasa penat, ia akan bermain untuk mengadakan pelepasan agar dapat mengembalikan kesegaran jasmani maupun rohani.
2.        Teori surplus atau teori kelebihan tenaga
Teori ini diutarakan oleh Herbert Spencer, seorang bangsa Inggris, ia mengatakan bahwa kelebihan tenaga (kekuatan atau vitalitas) pada anak atau orang dewasa yang belum digunakan, disalurkan untuk bermain. Kelebihan tenaga dimaksudkan sebagai kelebihan energi, kelebihan kekuatan hidup dan vitalitas, dianggap oleh manusia untuk memelihara lewat permainan.
3.        Teori teleologi
Karl Groos, seorang bangsa Jerman, mengatakan bahwa permainan mempunyai tugas biologik, yang mempelajari fungsi hidup sebagai persiapan untuk hidup yang akan datang. Pengutaraan teori ini merupakan pengutaraan yang paling terkenal dan pengutaraan tentang permainan yang dapat diterima.
4.        Teori sublimasi  
Teori ini diutarakan oleh seorang bangsa Swiss yang bernama Ed Claparede. Ia mengutarakan bahwa permainan bukan hanya mempelajari fungsi hidup (teori Groos), tetapi juga merupakan proses sublimasi (menjadi lebih mulia, tinggi atau indah), ialah dengan bermain, insting rendah akan menjadi tingkat perbuatan yang tinggi.
5.        Teori Buhler        
Carl Buhler seorang Jerman, mengatakan bahwa permainan itu kecuali mempelajari fungsi hidup (teori Groos), juga merupakan ”Function Lust” (nafsu berfungsi), dan juga merupakan ”Aktivitas Drang” (kemauan untuk aktif). Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila perbuatan seperti berjalan, lari, dan lompat itu mempunyai kegunaan bagi kehidupannya kelak, di samping itu haruslah anak mempunyai kemampuan untuk berjalan, lari, dan lompat.
6.        Teori Reinkarnasi
Di samping ke lima teori tersebut, ada suatu teori lain yang masih banyak dibicarakan orang ialah teori reinkarnasi. Adapun maksud dari teori tersebut ialah bahwa anak-anak selalu bermain dengan permainan yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Jadi anak selalu bermain permainan yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Teori ini sebenarnya telah usang karena sekarang banyak anak bermain dengan permainan baru sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teori bermain yang tersebutkan tadi merupakan sebagian dari usaha penelaahan tentang bermain yang kiranya dapat digunakan dalam usaha pendidikan. Teori yang bermacam-macam itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tidak ada keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Namun juga tidak bertentangan. Memang ada beberapa teori yang sedikit mencakup dan menerima teori yang lain dan membubuhi teorinya sendiri sehingga menjadi teori yang lebih baik. Ada juga para pakar lain yang mengkritik teori-teori tadi, tetapi perkembangan teori bermain sebagai wahana pendidikan banyak sedikitnya didorong atau dijiwai oleh teori-teori klasik ini. Adapun beberapa pendapat tentang teori bermain sebagai wahana pendidikan dibicarakan pada bagian berikut ini.

C.  Fungsi Bermain dalam Pendidikan
1.        Bigo, Kohnstam, dan Palland (1950 : 275-276)
Ketiga pakar ini berpendapat bahwa permainan mempunyai makna pendidikan, dengan uraian sebagai berikut :
a.         Permainan merupakan salah satu dari banyak wahana untuk membawa anak kepada hidup bersama atau bermasyarakat. Anak akan memahami dan menghargai dirinya atau temannya. Pada anak yang bermain, akan tumbuh rasa kebersamaan, yang sangat baik bagi pembentukan rasa sosialnya.
b.        Dalam permainan anak akan mengetahui kekuatannya, menguasai alat bermain, dan mengetahui sifat alat.
c.         Dalam permainan, anak akan mempunyai suasana, yang tidak hanya mengungkapkan fantasinya saja, tetapi juga akan mengungkapkan semua sifat aslinya, dan pengungkapan itu dilakukan secara patuh dan spontan. Anak laki-laki dan perempuan yang berumur sama akan berbuat yang berbeda terhadap permainan yang sama (misalnya bermain dengan kubus, atau boneka).
d.        Dalam permainan, anak mengungkapkan macam-macam emosinya, dan sesuai dengan yang diperolehnya saat itu jenis emosi itu diungkapkannya, serta tidak mengarah pada prestasi.
e.         Dalam bermain anak akan dibawa kepada kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan dalam dunia kehidupan anak. Semua situasi ini mempunyai makna wahana pendidikan.
f.         Permainan akan mendasari kerjasama, taat kepada peraturan permainan, pembinaan watak jujur dalam bermain, dan semuanya ini akan membentuk sifat ”fairplay” (jujur, sifat kesatria, atau baik) dalam bermain.
g.        Bahaya dalam bermain dapat saja timbul, dan keadaan ini akan banyak gunanya dalam hidup yang sesungguhnya.
2.        Pendapat Huizinga (1950) karena masalah permainan dalam perluasannya merupakan gejala kebudayaan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa permainan itu mempunyai makna pendidikan praktis.
3.        Montessori (Bigot, Kohnstamm, dan Pallad, 1950:273) menyebutkan permainan sebagai alat untuk mempelajari fungsi. Rasa senang akan terdapat dalam segala macam jenis permainan, akan merupakan dorongan yang kuat untuk mempelajari sesuatu.
4.        Bucher (1960:48) berpendapat bahwa permainan yang telah lama dikenal oleh anak-anak, orang tua, laki-laki maupun perempuan, mampu menggerakkan untuk berlatih, bergembira, dan rileks. Permainan merupakan salah satu komponen pokok pada tiap program pendidikan jasmani, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mengenal secara mendalam tentang seluk beluk permainan.
5.        Cowell dan Honzeltn (1955:146) mengatakan bahwa untuk membawa anak kepada cita-cita pendidikan, maka perlu adanya usaha peningkatan keadaan jasmani, sosial, mental, dan moral anak yang optimal. Agar memperoleh peningkatan tersebut, anak dapat dibantu dengan permainan, karena anak dapat menampilkan dan memperbaiki keterampilan jasmani, rasa sosial, percaya diri, peningkatan moral dan spiritual lewat ”fairplay” dan ”sportmanship” atau bermain dengan jujur, sopan, dan berjiwa olahragawan sejati.
6.        Drijarkara (1955:15) mengutarakan bahwa dorongan untuk bermain itu pasti ada pada setiap manusia. Akan tetapi lebih-lebih pada manusia muda, sebab itu sudah semestinya bahwa permainan digunakan pada pendidikan.
7.        Hadi Soekatna (Taman Siswa, 1956:165) mengemukakan bahwa memang kita kaum Taman Siswa mempunyai keyakinan setebal-tebalnya bahwa dengan permainan kanak-kanak sebagai alat pendidikan itu dapat membimbing anak kita ke arah kesempurnaan hidup kebangsaan semurni-murninya.
8.        Rob dan Leetouwer (1950:38) mengatakan, bila seorang guru permainan menentukan dan menempati tujuan permainan, bahwa anak bermain untuk kesenangannya, para pemain akan bermain dengan senang, maka akan timbullah realitas yang harmonis dengan ditandai dengan adanya ketertiban dan keteraturan, akan timbul banyak situasi pedagogik.
9.        Rijsdorp (1971:47) mengutarakan bahwa anak yang bermain kepribadiannya akan berkembang, dan wataknya akan terbentuk juga.

D. Makna Bermain Dalam Pendidikan
Dalam Sub Bab Fungsi Bermain dalam Pendidikan, telah dipaparkan pendapat para pakar yang membahas kaitan bermain dan pendidikan. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat ditentukan makna bermain dalam pendidikan sebagai berikut.

Sifat bermain
1.        Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan dengan suka rela atas dasar rasa senang.
2.        Bermain dengan rasa senang, menumbuhkan aktivitas yang dilakukan secara spontan.
3.        Bermain dengan rasa senang, untuk memperoleh kesenangan, menimbulkan kesadaran agar bermain dengan baik perlu berlatih, kadang-kadang memerlukan kerja sama dengan teman, menghormati lawan, mengetahui kemampuan teman, patuh pada peraturan, dan mengetahui kemampuan dirinya sendiri.

Pembahasan tentang bermain dan permainan
Jenis permainan yang dimainkan oleh anak sangat ditentukan oleh umur anak. Untuk kelompok umur tertentu jenis permainannya akan berbeda dengan jenis permainan yang dimainkan oleh kelompok umur yang lain. Hal in disebabkan oleh kemampuan anak, dan juga oleh kesenangan anak. Dari penelitian Hurlock (1978 : 294) yang diamati dalam waktu satu minggu diperoleh kesimpulan bahwa jumlah permainan yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang jumlah permainannya yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang berbeda-beda, akan berbeda juga. Adapun hasil penelitian itu sebagai berikut :
Umur 8 tahun : rata-rata ganti permainan 40,11 %
Umur 12 tahun            : rata-rata ganti permainan 17,71 %
Hal ini dapat terjadi sebab ada kemungkinan bahwa anak pada kelompok umur lebih tua hanya mempunyai waktu luang yang sedikit, dan pada kelompok umur yang lebih muda untuk memperoleh rasa senang, mereka dapat bermain tanpa alat, atau dengan alat, atau dengan alat yang mereka peroleh dari tempat di sekelilingnya. Mereka dapat bermain sendiri dengan berfantasi, atau bermain dengan teman siapa saja yang mau menemani dan ikut bermain. Anak-anak yang lebih muda akan bermain dengan aktivitas jasmani yang lebih sedikit dibandingkan dengan permainan anak-anak yang lebih tua. Anak kelompok umur lebih tua akan memainkan permainan yang mempunyai peraturan yang tetap dan biasanya menuntut aktivitas jasmani yang lebih berat.

SELAMAT BELAJAR












Tuesday, August 20, 2013

KONSEP DAN TEORI BERMAIN



KONSEP DAN TEORI BERMAIN
Di Peruntukan 
Buat Mahasiswa JPOK FKIP Unlam

A. Pandangan Filosofis dan Sosiologis
Filosofi bermain dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah harus dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari program untuk mencapai tujuan pembelajaran. Saat ini dalam proses belajar di sekolah berkembang trend “belajar sambil bermain”, trend ini pertama kali dikembangkan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di Amerka Serikat meskipun di Indonesia sebenarnya kaya akan permainan khususnya permainan aktifitas fisik. Aktivitas bermain dalam pendidikan jasmani memberikan banyak pilihan kepada siswa karena berisi gerakan-gerakan yang merupakan hasil dari peradaban budaya manusia secara turun temurun dan menjadi karakterisitk dari ekstensi budaya masyarakat.
Filosofi bermain didefnisikan sebagai hasil dari sejarah manusia yang turun temurun tentunya tanpa membedakan ras, kultur, sosial, agama. Bercirikan aktifitas jasmani yang mengandung nilai-nilai filosofis dalam setiap gerakannya.
Pertama, kepercayaan bahwa aktifitas bermain merupakan refleksi dari budaya masyarakat yang diaktualisaskan dengan aktifitas jasmani. Di samping itu, kami juga percaya bahwa dengan aktifitas bermain akan dapat memberikan pengaruh besar terhadap kesehatan anak dalam periode waktu lama.
Kedua, kepercayaan bermain merupakan suatu hal penting dalam fase pertumbuhan manusia khususnya pertumbuhan secara motorik, karena dengan aktifitas bermain anak akan mempunyai perbendaharaan pengalaman gerak yang banyak sehingga nantinya akan memudahkan anak tersebut untuk memahami keterampilan motorik yang efektf dan efisien.
Ketiga, kepercayaan bahwa dengan bermain, anak akan belajar untuk membuat, mematuhi dan melaksanakan aturan.
Keempat, kepercayaan bahwa program pembelajaran penjas di sekolah harus diisi dengan program yang disukai oleh para siswa dan menawarkan banyak pilihan bagi mereka untuk beraktitfitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Kami juga percaya bahwa dengan aktifitas bermain semua siswa dengan berbagai level kamampuan motoriknya  akan mampu berpartispasi dalam pembelajaran penjas.
Kelima, kami percaya bahwa menghargai orang lain adalah salah satu tujuan yang dipertimbangkan dalam aktifitas bermain
Akhirnya, kami percaya bahwa nilai-nilai sosial para siswa dapat dikembangkan melalui aktfitas bermain akan tetapi tujuan ini tidak dapat diperoleh secara otomatis melainkan tergantung kepada bagaiman guru pendidikan jasmani merencanakan dan mengajarkan aktitfitas bermain ini kepada siswa dengan benar.
Tujuan-tujuan Bermain:
Tujuan bermain dalam pendidikan jasmani di sekolah harus konsisten dengan filosofi atau tujuan-tujuan pendidikan itu sendiri, adapun tujuan dari bermain khususnya dalam pendidikan jasmani di sekolah, adalah:
1.        Menyediakan pengalaman gerak yang menyenangkan;
2.        Menyediakan rasa aman secara psikologi dan sosial anak
3.        Menyediakan partisipasi aktif anak untuk berinteraksi dengan teman
4.        Memberikan anak kesempatan untuk tumbuh secara fisik, emosional, spiritual, melalui partsipasi dalam aktifitas bermain.

Tujuan-tujuan Partisipasi anak dalam bermain
Tujuan akhir dari aktifitas bermain adalah menjadikan anak sebagai orang yang lebih efektif dan berperan aktif dalam lingkungan sosial. Mereka dapat menyadari tujuan tersebut melalui partisipasi dalam aktifitas bermain
1.        Belajar Kerjasama Tim. Untuk bekerja sama dengan orang lain dalam mayarakat yang demokratis seorang anak harus mengembangkan disiplin pribadinya, menghargai orang lain, dan semangat untuk kerja keras serta pengorbanan.
2.        Belajar untuk sukses. Kehidupan di masyarakat sangat kompetitif, anak tidak akan selalu menang akan tetapi anak akan sukses ketika anak mau bekerja keras secara terus menerus
3.        Belajar untuk bermain dengan baik. Melalui aktifitas bermain akan dapat dikembangkan sikap sosial yang positif diantaranya; kontrol emosi, kejujuran, kooperatif, dan saling terkait dengan orang lain.
4.        Belajar menikmati aktifitas fisik. Setiap anak akan senang untuk beraktifitas fisik tanpa mengenal rasa lelah, hal ini dikarenakan anak melakukannya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan.
5.        Belajar kebiasaan hidup sehat. Partisipasi dalam bermain aktif akan dapat menumbuhkan kebiasaan hidup aktif anak.
 
B.  Teori-teori Bemain
1.  Teori rekreasi atau teori pelepasan
Teori ini diutarakan oleh bangsa Jerman, yang bernama Schaller dan Lazarus, menerangkan bahwa permainan itu merupakan kegiatan manusia yang berlawanan dengan kerja dan kesungguhan hidup, tetapi permainan itu merupakan imbangan antara kerja dengan istirahat. Orang yang merasa penat, ia akan bermain untuk mengadakan pelepasan agar dapat mengembalikan kesegaran jasmani maupun rohani.
2.        Teori surplus atau teori kelebihan tenaga
Teori ini diutarakan oleh Herbert Spencer, seorang bangsa Inggris, ia mengatakan bahwa kelebihan tenaga (kekuatan atau vitalitas) pada anak atau orang dewasa yang belum digunakan, disalurkan untuk bermain. Kelebihan tenaga dimaksudkan sebagai kelebihan energi, kelebihan kekuatan hidup dan vitalitas, dianggap oleh manusia untuk memelihara lewat permainan.
3.        Teori teleologi
Karl Groos, seorang bangsa Jerman, mengatakan bahwa permainan mempunyai tugas biologik, yang mempelajari fungsi hidup sebagai persiapan untuk hidup yang akan datang. Pengutaraan teori ini merupakan pengutaraan yang paling terkenal dan pengutaraan tentang permainan yang dapat diterima.
4.        Teori sublimasi  
Teori ini diutarakan oleh seorang bangsa Swiss yang bernama Ed Claparede. Ia mengutarakan bahwa permainan bukan hanya mempelajari fungsi hidup (teori Groos), tetapi juga merupakan proses sublimasi (menjadi lebih mulia, tinggi atau indah), ialah dengan bermain, insting rendah akan menjadi tingkat perbuatan yang tinggi.
5.        Teori Buhler        
Carl Buhler seorang Jerman, mengatakan bahwa permainan itu kecuali mempelajari fungsi hidup (teori Groos), juga merupakan ”Function Lust” (nafsu berfungsi), dan juga merupakan ”Aktivitas Drang” (kemauan untuk aktif). Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila perbuatan seperti berjalan, lari, dan lompat itu mempunyai kegunaan bagi kehidupannya kelak, di samping itu haruslah anak mempunyai kemampuan untuk berjalan, lari, dan lompat.
6.        Teori Reinkarnasi
Di samping ke lima teori tersebut, ada suatu teori lain yang masih banyak dibicarakan orang ialah teori reinkarnasi. Adapun maksud dari teori tersebut ialah bahwa anak-anak selalu bermain dengan permainan yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Jadi anak selalu bermain permainan yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Teori ini sebenarnya telah usang karena sekarang banyak anak bermain dengan permainan baru sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teori bermain yang tersebutkan tadi merupakan sebagian dari usaha penelaahan tentang bermain yang kiranya dapat digunakan dalam usaha pendidikan. Teori yang bermacam-macam itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tidak ada keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Namun juga tidak bertentangan. Memang ada beberapa teori yang sedikit mencakup dan menerima teori yang lain dan membubuhi teorinya sendiri sehingga menjadi teori yang lebih baik. Ada juga para pakar lain yang mengkritik teori-teori tadi, tetapi perkembangan teori bermain sebagai wahana pendidikan banyak sedikitnya didorong atau dijiwai oleh teori-teori klasik ini. Adapun beberapa pendapat tentang teori bermain sebagai wahana pendidikan dibicarakan pada bagian berikut ini.

C.  Fungsi Bermain dalam Pendidikan
1.        Bigo, Kohnstam, dan Palland (1950 : 275-276)
Ketiga pakar ini berpendapat bahwa permainan mempunyai makna pendidikan, dengan uraian sebagai berikut :
a.         Permainan merupakan salah satu dari banyak wahana untuk membawa anak kepada hidup bersama atau bermasyarakat. Anak akan memahami dan menghargai dirinya atau temannya. Pada anak yang bermain, akan tumbuh rasa kebersamaan, yang sangat baik bagi pembentukan rasa sosialnya.
b.        Dalam permainan anak akan mengetahui kekuatannya, menguasai alat bermain, dan mengetahui sifat alat.
c.         Dalam permainan, anak akan mempunyai suasana, yang tidak hanya mengungkapkan fantasinya saja, tetapi juga akan mengungkapkan semua sifat aslinya, dan pengungkapan itu dilakukan secara patuh dan spontan. Anak laki-laki dan perempuan yang berumur sama akan berbuat yang berbeda terhadap permainan yang sama (misalnya bermain dengan kubus, atau boneka).
d.        Dalam permainan, anak mengungkapkan macam-macam emosinya, dan sesuai dengan yang diperolehnya saat itu jenis emosi itu diungkapkannya, serta tidak mengarah pada prestasi.
e.         Dalam bermain anak akan dibawa kepada kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan dalam dunia kehidupan anak. Semua situasi ini mempunyai makna wahana pendidikan.
f.         Permainan akan mendasari kerjasama, taat kepada peraturan permainan, pembinaan watak jujur dalam bermain, dan semuanya ini akan membentuk sifat ”fairplay” (jujur, sifat kesatria, atau baik) dalam bermain.
g.        Bahaya dalam bermain dapat saja timbul, dan keadaan ini akan banyak gunanya dalam hidup yang sesungguhnya.
2.        Pendapat Huizinga (1950) karena masalah permainan dalam perluasannya merupakan gejala kebudayaan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa permainan itu mempunyai makna pendidikan praktis.
3.        Montessori (Bigot, Kohnstamm, dan Pallad, 1950:273) menyebutkan permainan sebagai alat untuk mempelajari fungsi. Rasa senang akan terdapat dalam segala macam jenis permainan, akan merupakan dorongan yang kuat untuk mempelajari sesuatu.
4.        Bucher (1960:48) berpendapat bahwa permainan yang telah lama dikenal oleh anak-anak, orang tua, laki-laki maupun perempuan, mampu menggerakkan untuk berlatih, bergembira, dan rileks. Permainan merupakan salah satu komponen pokok pada tiap program pendidikan jasmani, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mengenal secara mendalam tentang seluk beluk permainan.
5.        Cowell dan Honzeltn (1955:146) mengatakan bahwa untuk membawa anak kepada cita-cita pendidikan, maka perlu adanya usaha peningkatan keadaan jasmani, sosial, mental, dan moral anak yang optimal. Agar memperoleh peningkatan tersebut, anak dapat dibantu dengan permainan, karena anak dapat menampilkan dan memperbaiki keterampilan jasmani, rasa sosial, percaya diri, peningkatan moral dan spiritual lewat ”fairplay” dan ”sportmanship” atau bermain dengan jujur, sopan, dan berjiwa olahragawan sejati.
6.        Drijarkara (1955:15) mengutarakan bahwa dorongan untuk bermain itu pasti ada pada setiap manusia. Akan tetapi lebih-lebih pada manusia muda, sebab itu sudah semestinya bahwa permainan digunakan pada pendidikan.
7.        Hadi Soekatna (Taman Siswa, 1956:165) mengemukakan bahwa memang kita kaum Taman Siswa mempunyai keyakinan setebal-tebalnya bahwa dengan permainan kanak-kanak sebagai alat pendidikan itu dapat membimbing anak kita ke arah kesempurnaan hidup kebangsaan semurni-murninya.
8.        Rob dan Leetouwer (1950:38) mengatakan, bila seorang guru permainan menentukan dan menempati tujuan permainan, bahwa anak bermain untuk kesenangannya, para pemain akan bermain dengan senang, maka akan timbullah realitas yang harmonis dengan ditandai dengan adanya ketertiban dan keteraturan, akan timbul banyak situasi pedagogik.
9.        Rijsdorp (1971:47) mengutarakan bahwa anak yang bermain kepribadiannya akan berkembang, dan wataknya akan terbentuk juga.

D. Makna Bermain Dalam Pendidikan
Dalam Sub Bab Fungsi Bermain dalam Pendidikan, telah dipaparkan pendapat para pakar yang membahas kaitan bermain dan pendidikan. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat ditentukan makna bermain dalam pendidikan sebagai berikut.

Sifat bermain
1.        Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan dengan suka rela atas dasar rasa senang.
2.        Bermain dengan rasa senang, menumbuhkan aktivitas yang dilakukan secara spontan.
3.        Bermain dengan rasa senang, untuk memperoleh kesenangan, menimbulkan kesadaran agar bermain dengan baik perlu berlatih, kadang-kadang memerlukan kerja sama dengan teman, menghormati lawan, mengetahui kemampuan teman, patuh pada peraturan, dan mengetahui kemampuan dirinya sendiri.

Pembahasan tentang bermain dan permainan
Jenis permainan yang dimainkan oleh anak sangat ditentukan oleh umur anak. Untuk kelompok umur tertentu jenis permainannya akan berbeda dengan jenis permainan yang dimainkan oleh kelompok umur yang lain. Hal in disebabkan oleh kemampuan anak, dan juga oleh kesenangan anak. Dari penelitian Hurlock (1978 : 294) yang diamati dalam waktu satu minggu diperoleh kesimpulan bahwa jumlah permainan yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang jumlah permainannya yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang berbeda-beda, akan berbeda juga. Adapun hasil penelitian itu sebagai berikut :
Umur 8 tahun : rata-rata ganti permainan 40,11 %
Umur 12 tahun            : rata-rata ganti permainan 17,71 %
Hal ini dapat terjadi sebab ada kemungkinan bahwa anak pada kelompok umur lebih tua hanya mempunyai waktu luang yang sedikit, dan pada kelompok umur yang lebih muda untuk memperoleh rasa senang, mereka dapat bermain tanpa alat, atau dengan alat, atau dengan alat yang mereka peroleh dari tempat di sekelilingnya. Mereka dapat bermain sendiri dengan berfantasi, atau bermain dengan teman siapa saja yang mau menemani dan ikut bermain. Anak-anak yang lebih muda akan bermain dengan aktivitas jasmani yang lebih sedikit dibandingkan dengan permainan anak-anak yang lebih tua. Anak kelompok umur lebih tua akan memainkan permainan yang mempunyai peraturan yang tetap dan biasanya menuntut aktivitas jasmani yang lebih berat.

Selamat Belajar Mohon Saran dan Tanggapannya.

Salam

M.Kahri